Hidup di zaman milenial seperti pedang bermata dua, bermanfaat karena segalanya dimudahkan dengan teknologi. Lapar sedikit, bisa buka aplikasi dan memesan makanan dan bisa diantar sampai kerumah.
Terkait makanannya, belum tentu makanan yang kadar GGL (gula, garam, dan lemak) sudah sesuai dengan asupan minimal per hari. Menjadi tidak baik jika aktivitas diatas dilakukan berulang dan berkesinambungan sehingga menyebabkan gangguan kesehatan.
Terbukti dari program JKN bahwa penyakit yang menjadi mayoritas dalam pembiayaan adalah penyakit degenartif, seperti jantung koroner, stroke, diabetes, kanker, gagal ginjal, dimana penyakit tersebut disebabkan oleh pola hidup yang tidak sehat.
Tahun 2016, Kementerian Kesehatan meluncurkan program kesehatan yaitu GERMAS, Gerakan Masyarakat Hidup Sehat. Yang berisi 7 komponen didalamnya, yaitu:
- Melakukan aktivitas fisik
- Mengkonsumsi buah dan sayur
- Tidak merokok
- Tidak mengkonsumsi alkohol
- Memeriksa kesehatan secara rutin
- Membersihkan lingkungan
- Menggunakan jamban
Dari 7 komponen diatas yang menjadi fokus utama saat ini adalah 3 diantaranya, yaitu melakukan aktivitas fisik, mengkonsumsi buah dan sayur, memeriksa kesehatan secara rutin.
Untuk wilayah perkotaan yang dihuni kaum milenial mungkin bukan masalah karena semuanya bisa diakses dengan mudah, hanyakesadaran yang menjadi dinding untuk bisa melakukannya.
Saat ini di daerah lain telah banyak kegiatan untuk mendukung GERMAS, mulai dari tingkat desa, bahkan swasta. Pertanyaannya sekarang, apakah germas bisa diterapkan di wilayah pedalaman terutama di Indonesia Timur? Mari kita bahas satu per satu.
1. Melakukan Aktivitas Fisik
Di daerah pedalaman alat transportasi masih sangat terbatas. Kehidupan sehari-hari mereka adalah berkebun, berburu, dan menjala ikan. Semua itu mereka lakukan dengan berjalan kaki yang jaraknya bisa ditempuh 2-3 jam dengan berjalan kaki. Artinya, mereka sudah mengakomodir untuk aktivitas fisik yang dianjurkan, bahkan lebih.
2. Mengkonsumsi Buah dan Sayur
Seperti yang sudah dijelaskan diatas, keseharian mereka adalah berkebun. Banyak jenis sayuran dan buah-buahan yang bisa mereka tanam. Singkong, kangkung, bayam, kubis, pepaya, nanas, durian, rambutan, jambu, hingga buah mereh yang kaya akan antioksidan. Mereka telah berkebun sejak lama. Bagi yang telah mengerti tentang ekonomi, mereka bisa menjualnya ke pasar, masyarakat.
Namun, mengapa masih ditemukan banyak kasus gizi buruk? Melihat kemungkinan ditatas seharusnya kecukupan gizi mereka telah tercukupi. Yang menjadi masalah adalah determinan sosial dalam perilaku mereka, Poligami.
Dalam satu rumah bisa diisi dengan keluarga yang berisi 1 suami, 3 istri, dan 12 orang anak, dan dalam satu Distrik (Kecamatan) memiliki lebih dari 1.000 KK. Berapa anak-anak yang memiliki kemungkinan untuk gizi buruk? Banyak sekali. Status ekonomi mereka tidak mencukupi untuk menghidupi semua anak-anak mereka.
Sektor kesehatan telah berusaha melakukan tugas mereka, bahkan tidak sedikit yayasan nasional dan internasional yang turut membantu untuk menekan angka gizi buruk. Mirip seperti fenomena gunung es, sangat samar untuk melihat angka pasti dari jumlah kasus ini.
Memang tidak semua wilayah di Papua memiliki kasus seperti diatas, masih ada beberapa wilayah yang ber-KB dan bisa mencukupi asupan gizi mereka.
3. Tidak Merokok dan Tidak Minum Alkohol
2 sahabat karib ini sangat susah dikendalikan. Jangankan di pedalaman, di perkotaan yang mayoritas kaum terpelajar dan memahami resikonya saja masih bergelut mesra dan tidak bisa beralih dari rokok dan alkohol.
Setidaknya beberapa dari mereka mengerti bahwa merokok di dekat bayi/balita itu tidak baik, jadi beberapa dari mereka bisa mengurangi jumlah perokok pasif.
4. Memeriksa Kesehatan Secara Rutin
Masalah yang ditemui dalam poin ini adalah pemeriksaan ibu hamil. Kesadaran mereka masih sangat kurang untuk poin yang satu ini. Kesadaran mereka untuk memeriksakan kehamilan mereka masih minim, karena sebagian dari mereka berpikir, selama masa hamil tidak sakit, dan masih bisa beraktivitas, maka semuanya akan baik-baik saja.
Sementara, status gizi ibu perlu diperhatikan akan berat badannya, kecukupan Fe, dan lainnya yang menunjang masa kehamilan. Hal ini yang cenderung luput dari perhatian mereka yang beresiko bayi lahir dengan BBLR
5. Menggunakan Jamban
Indonesia ditargetkan untuk 100% bebas buang air besar sembarangan tahun 2019. Selama tahun berjalan 2017 ini, jumlah Distrik di salah satu Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat yang mendeklarasikan ODF (Open Defecation Free) baru berjumlah 2 Distrik. Masih jauh dibandingkan Kabupaten lain di Indonesia Barat.
Jumlah jamban pribadi masih sangat minim, hal ini disebabkan beberapa faktor penting, diantaranya adalah ketersediaan sumber air bersih.
Wilayah pegunungan mungkin memiliki air bersih, namun ketersediaan sumber daya lain seperti listrik atau pompa air untuk disalurkan ke rumah masih terbatas.
Beruntungnya, saat ini pembangunan Indonesia Timur menjadi prioritas, beberapa Distrik telah memanfaatkan Dana Desa untuk membangun jamban komunal dan ketersediaan Solar Cell atau generator untuk mesin pompa mereka.
Apakah berhasil? Masih belum sepenuhnya. Lagi-lagi determinan sosial memaksa petugas kesehatan bekerja lebih keras agar mereka bisa mencanangkan ODF (Open Defecation Free), yaitu KEBIASAAN.
Mereka masih belum terbiasa menggunakan jamban, meski jamban dan air telah tersedia.
Melihat penjabaran diatas, pertanyaan “Apakah bisa menerapkan GERMAS di wilayah pedalaman?”, jawabannya adalah “HARUS”!
Bisa tidak bisa GERMAS harus dilaksanakan dan digencarkan untuk menyelesaikan polemik diatas. Masih banyak PR yang harus dikerjakan untuk kita semua. Bukan hanya sektor kesehatan, namun sektor lain selaku pendukung keberhasilan.
Petugas kesehatan bukanlah pahlawan super yang bisa mengatasi masalah diatas sendirian.
Meskipun seandainya petugas kesehatan adalah pahlawan super, maka petugas kesehatan memerlukan bantuan dari pahlawan super lain dalam hal ini lintas sektor terkait agar tujuan ini bisa tercapai, karena masalah yang ada di Indonesia, adalah masalah kita semua.