Difteri merupakan salah satu penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Difteri merupakan penyakit yang sering menyebabkan kematian, karena racun yang dihasilkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheria.
Difteri kembali mewabah di Indonesia dan telah ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa oleh Kementerian Kesehatan. Sejak januari hingga November 2017 terdapat 593 kasus laporan Difteri dan 32 kematian di 95 Kabupaten dan 20 Provinsi di Indonesia.
Berikut ini ada beberapa hal yang menjadi perhatian kita bersama:
- Coverage Immunization
Kejadian penyakit difteri baru-baru ini yang mengakibatkan KLB ternyata diketahui banyak yang belum diimunisasi. Sering ditemui saat KLB, penderita penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi banyak diderita pada balita/anak yang memiliki riwayat tidak mendapatkan imunisasi lengkap.
Perlu partisipasi masyarakat dalam hal keikutsertaan untuk imunisasi karena masih ditemukan di masyarakat pihak-pihak yang antivaksin. Mari cegah bersama penyakit PD3I ini dengan mengikuti program imunisasi di puskesmas dan di posyandu. Hal ini untuk meningkatkan kekebalan komunitasnya.
Kenyataan di lapangan masih banyak ditemukan masyarakat yang tidak membawa lagi anaknya paska imunisasi campak. Lantas apa yang harus dilakukan? Saat ini pemerintah tengah menggalakkan program indonesia sehat dengan pendekatan keluarga. Petugas kesehatan harus pro aktif mendatangi masyarakat yang enggan membawa anaknya ke Posyandu.
Selain itu, petugas harus menjaga kualitas data cakupan imunisasi. Lebih baik melaporkan apa adanya, sehingga yang belum terimunisasi agar diupayakan diimunisasi tentu dengan pendekatan keluarga. Disisi lain, masyarakat juga harus berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan Posyandu termasuk menerima program imunisasi di Posyandu.
- Kualitas vaksin, Peran Puskesmas dan Unit Pelayanan Kesehatan Swasta (UPKS)
Sektor jejaring swasta memiliki peran besar dalam dunia kesehatan. Jejaring Puskesmas yang dimaksud disini yaitu Rumah Sakit Swasta, Bidan Praktek Mandiri, Dokter Praktek Mandiri, Klinis Swasta dan lain-lain yang menyediakan pelayanan kesehatan. Masyarakat pun banyak yang memilih berobat ke jejaring swasta tersebut. Itu sah-sah saja.
Namun, hal yang menjadi perhatian bersama yaitu pelaporan kasus dan pelayanan imunisasi yang diberikan oleh pelayanan kesehatan swasta.
Kegiatan supervisi supportif oleh Dinas Kesehatan merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan secara berkala dan berkesinambungan kepada UPKS. Beberapa penelitian menunjukkan manajemen suhu di UPKS jauh dari standar yang ada. Beberapa hal yang menjadi temuan yaitu penyimpanan suhu di lemari es keluarga yang dicampur dengan bahan-bahan lain, vaksin yang beku, Vaccine vial monitor/VVM yang rusak, vaksin yang sudah kadaluwarsa. Secara garis besar masih ditemukan pengelolan vaksin yang tidak memenuhi standar di UPKS.
Puskesmas juga harus mendapat suppervisi supportif agar tetap terpantau pengelolaan vaksin atau effective vaccine management di Puskesmas. Sehingga bisa diketahui seperti kualitas manajemen suhu di Puskesmas, pengetahuan petugas imunisasi, dan teknis lainnya berkaitan imunisasi di Puskesmas. Hal yang menjadi perhatian adalah transportasi vaksin dari cool chain ke Posyandu. Jarak ke posyandu mungkin membutuhkan beberapa jam sedangkan vaksin harus diberikan sesegera mungkin karena tidak menutup kemungkinan suhu di dalam cool box tetap terjaga.
Hal lainnya, saat di posyandu, masih ditemukan perilaku nakes yang tidak menutup kembali cool box saat beri pelayanan. Semoga Vaccine vial monitor/VVM yang menjadi indikator kualitas vaksin tetap diperhatikan oleh tenaga kesehatan saat memberikan vaksin ke bayi.
Selain itu, respon dini juga masih lemah. Beberapa kasus penyakit menular berobat ke UPKS, namun pihak UPKS tidak melaporkan kasus menular tersebut kepada Puskesmas/petugas surveilans. Akibatnya kasus dapat menularkan bakterinya ke orang disekitarnya karena mata rantai penularan tidak putus. Pemerintah perlu memperkuat peran serta dan komitmen UPKS dan puskesmas dalam menyelenggarakan sistem kewaspadan Dini.
- Early Warning Alert and Response System/ Sistem Kewaspadaan Dini
Early Warning Alert and Response System atau disingkat EWARS merupakan sistem pelaporan yang bertujuan peringatan, deteksi dan respon dini. Petugas surveilans dilatih untuk menemukan penyakit berpotensi KLB. Tetapi sistem ini tidak akan berjalan optimal jika sumber data/informasi terjadi penyakit potensi KLB terlambat diterima oleh petugas surveilans.
Sistem ini akan kuat jika adanya kerja sama dengan lintas sektor misalnya Desa dan perangkatnya yang tentu sangat bersentuhan langsung dengan masyarakatnya. Perangkat Desa dan masyarakat perlu mendapat informasi komprehesif tanda-tanda penyakit menular termasuk Difteri, bagaimana cara menangananinya, cara penularannya, termasuk apa yang harus dilakukan jika menemukan anggota keluarga menderita gejala mirip penyakit penular tertentu.
Tentu masyarakat harus segera membawa ke Puskesmas terdekat dan melaporkan kejadian suspek tersebut kepada petugas surveilans agar dilakukan respon dini/pelacakan kasus lainnya di lapangan.
- Petugas dan Mobilisasi Masyarakat
Puskesmas memiliki tenaga surveilans yang bertugas untuk mendeteksi sedini mungkin penyakit yang dapat menimbulkan KLB salah satunya difteri. Petugas surveilans tentu harus melihat secara jeli trend kasus yang bermunculan, paling tidak melihat dimana kasus berada, siapa yang terkena, kapan penyakit itu muncul.
Kemudian, dibandingkan dengan data-data pendukung lainnya misalnya riwayat penyakit, riwayat bepergian, aktifitas beberapa hari sebelum terkena, riwayat imunisasi, cakupan imunisasi di wilayah kasus, kondisi lingkungan rumah penderita, lokasi sekolah dan masih banyak lainnya.
Petugas surveilans harus mampu menemukan dan menganalisa faktor risiko tersebut agar dapat memberikan rekomendasi cara memutuskan mata rantainya atau paling tidak mengurangi penderita lainnya.