“Mungkin bagi sebagian kita ini genangan air kumuh, tapi bagi mereka ini adalah waterboom terbaik yang bisa mereka nikmati. Mungkin bagi kita harus berpikir berkali-kali untuk mandi atau sekedar menyentuh air ini. Tapi bagi mereka ini adalah lulur terbaik yang mereka punya.”
“Berbagai masalah kesehatan pasti muncul. PR masalah sanitasi sangat banyak. Namun, melihat mereka dapat menyukuri hal sederhana yang mereka punya, menikmati kekurangan yang mereka miliki, dan tertawa lepas disela-sela beban hidup yang ada, membuat kami tau arti hidup sederhana.“
“Hai adik, tetaplah bermain lepas, tumbuh dengan alam dan lari sekuat yang kalian mampu. Lihat di ujung sana, mimpi kalian sedang menunggu.”
dr. Febby Sri Rahayu – PN4 Muara Enim
Capture tersebut adalah bagian kecil dari desa kami. Pemandangan biasa yang dijumpai setiap hari. Genangan air itu merupakan luapan air sungai Lematang yang membanjiri sebagian besar hutan karet dan sawah yang membentuk landscape desa sepanjang musim penghujan. Mereka bahkan mandi di sana, di air yang sama dengan ibu yang mencuci baju di sebelahnya. Kita berusaha melihat hal-hal semacam ini dari berbagai sisi.
Jika memandang dari sudut kesehatan pastilah ini masalah sanitasi yang besar. Tapi jika dari sudut lain, apakah kita tega merebut kebahagiaan sederhana anak-anak yang berenang di tempat mereka setiap hari? Atau melarang ibu mencuci baju di air sungai? Padahal hanya air seperti itulah yang mereka punya. Inilah salah satu persoalan paradigma sehat, dan kami di sini berusaha belajar dari masyarakat untuk bersama memahami paradigma sehat yang dekat dengan mereka dan menyelesaikannya bersama.
Lalu sebenarnya siapakah kami? Lima orang dengan latar belakang kesehatan, dari luar Sumatra Selatan, kemudian tinggal di tempat baru. Tinggal bersama masyarakat desa selama setahun penuh untuk mencoba memberikan pola pandang tentang paradigma sehat di masyarakat.
Bagi kami, hidup di desa dan kesempatan untuk melihat bagian lain Indonesia kemudian berbuat sedikit bersama masyarakat selama dua belas purnama sudah menjadi penghargaan sangat tinggi. Kami berlima tergabung dalam Program Pencerah Nusantara. Sebuah program organisasi sosial non pemerintah yang bertujuan untuk membantu Indonesia mencapai target internasional, Sustainable Development Goals (SDGs) terutama capaian kesehatan.
Program ini mengirimkan tim kesehatan yang terdiri dari anak muda terpilih dari berbagai daerah untuk mengabdikan dirinya selama satu tahun di sebuah daerah. Pencerah Nusantara berada di 9 titik di Indonesia, salah satunya di Kecamatan Sungai Rotan, Kabupaten Muara Enim. Delapan titik lainnya berada di Aceh Selatan, Cirebon, Grobogan, Gunung Mas, Sumbawa Barat, Mamuju Utara, Konawe, dan Sorong. Pemilihan lokasi ini berdasarkan banyak pertimbangan, salah satunya adalah profil kesehatan daerah.
Satu periode program Pencerah Nusantara (PN) di kecamatan selama tiga tahun, namun setiap tahun terjadi pergantian estafet tim di satu penempatan yang sama. Periode tahun 2016-2017 ini tim PN Muara Enim terdiri atas lima profesional muda kesehatan, yakni Aris Tri Susilo, S.T. (Sanitarian); Maharani Jibbriellia, S.Gz. (Ahli Gizi); dr. Febby Sri Rahayu (Dokter Umum); Noor Aysah, Amd.Keb (Bidan); dan Ns. Riska Arisman, S.Kep.(Perawat). Kelimanya bersama sebagai tim kesehatan untuk berkolaborasi interprofesi di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) yakni Puskesmas.
Sejak bulan Mei 2017, tongkat estafet PN telah beralih pada Pencerah Nusantara yang baru. Mereka terdiri atas 6 profesional muda kesehatan, dr.Novendi Rizka (Dokter Umum); drg. Ratna Kartika (Dokter Gigi); Nurul Fadhilah, S.Gz. (Ahli Gizi); Ratna Puspitasari, SKM. (Kesehatan Masyarakat); Andri Setyowati, Amd.Keb.(Bidan); dan Ns. Dratia Eka Fajarani, K.Kep. (Perawat).
FKTP yang mendapatkan intervensi program adalah Puskesmas Sukarami, Kecamatan Sungai Rotan, Kabupaten Muara Enim, Sumatra Selatan. Kecamatan ini mengampu lebih dari 34 ribu penduduk yang tersebar di 19 desa. Jarak antardesa di sini paling dekat 20 menit menggunakan motor dengan kecepatan standar karena banyak jalan berlubang.
Desa kami ini berjarak 3-4 jam dari ibukota Kabupaten Muara Enim. Kecamatan Sungai Rotan merupakan salah satu kecamatan yang terpisah dan terletak paling ujung dari ibukota kabupaten. Akses jalan masuk desa tidak mulus, butuh waktu sekitar enam puluh sampai seratus menit. Melintasi kebun-kebun karet yang sepi dan rawa-rawa. Jika matahari sudah tenggelam, kebun karet berubah menjadi hutan panjang tanpa cahaya. Tak heran jika daerah di sini rawan.
Sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah petani karet. Beberapa desa yang terletak di hilir Sungai Lematang bekerja bercocok tanam sawah pada musim kemarau dan beralih menjadi nelayan pada musim penghujan. Ketika hujan sedang sering turun, aliran sungai Lematang meluap. Membanjiri seluruh desa-desa yang terletak berdekatan dengan aliran sungai, bahkan jarak antar rumah ditempuh dengan getek –perahu dayung. Begitu sepanjang tahun. Masyarakat tetap berada di rumah-rumah mereka. Tidak ada camp pengungsian walaupun banjir merupakan agenda tahunan seperti Jakarta. Masyarakat sudah membuat rumah-rumah mereka seperti panggung, sehingga jika musim banjir mereka menggunakan rumah bagian atas.
Jika banyak daerah yang memiliki pemandangan alam yang aduhai. Bagi kami pemandangan rawa-rawa, hutan karet, air sungai Lematang sepanjang jalan sudah menjadi penyuguh panorama menarik.
Selain penyesuaian geografis, kami juga beradaptasi dengan pola kerja. Bekerja dalam tim bukan hanya tentang kami berlima saja tetapi juga bersama puskesmas, lintas sektor baik pemerintah maupun swasta, dan masyarakat seluruhnya. Sebab kesehatan bukan hanya urusan orang kesehatan saja, tapi juga seluruh elemen masyarakat. Kerja bersama.
Kesehatan merupakan tanggungjawab banyak sektor. Semua punya andil dalam akselerasi kesehatan di daerah mulai dari pemegang kebijakan tingkat tertinggi di daerah hingga masyarakat sebagai pelaku tingkat bawah.
Salah satu permasalahan yang paling krusial dari hubungan ini adalah masih berdirinya lembaga-lembaga secara mandiri. Masih sendiri-sendiri. Mungkin suatu lembaga punya program kesehatan, namun ia berjalan sendiri padahal puskesmas juga memiliki program yang sama. Atau beberapa pihak menginginkan sebuah program kesehatan, namun sebab tidak ada komunikasi atau publikasi maka banyak pihak yang tidak tahu padahal program tersebut pun sebenarnya sudah ada di masyarakat. Hal inilah yang kemudian menjadi perhatian.
Jembatan-jembatan antar lembaga belum terbentuk. Jaring-jaring yang harusnya ada hingga tingkat bawah belum terkait satu sama lain. Hal ini juga yang menjadi salah satu peran Pencerah Nusantara di daerah, memberi jembatan antar instansi sehingga terjalin komunikasi yang baik.
Kohort program Pencerah Nusantara berjalan selama tiga tahun. Di tahun pertama, PN memulai program dengan perkenalan, membangun hubungan baik dengan semua pihak, survey kesehatan lingkup kecamatan, merencanakan program aksi berdasarkan hasil survey untuk 3 tahun, dan inisiasi program. Estafet tim tahun kedua adalah melanjutkan intervensi program yang telah disusun. Kemudian estafet tim tahun ketiga adalah mempersiapkan dan memastikan keberlanjutan program tetap berjalan tanpa ada PN.
Program kesehatan kami berfokus pada kesehatan ibu, anak, dan gizi. Program yang terbentuk telah diadvokasi dan telah masuk dalam program puskesmas dan program desa, sehingga fokus terhadap pemberdayaan masyarakat berjalan.
Mungkin hampir sama di daerah lain di Indonesia, karakter masyarakat pedesaan adalah mudah menerima dan tertarik dengan kedatangan orang baru. Begitupun dengan kehadiran Pencerah Nusantara di Sungai Rotan.
Kehadiran kami diterima dengan sangat baik oleh pemerintah daerah hingga masyarakat. Begitu pula program yang coba kami terapkan bersama puskesmas. Diterima dengan baik dan mendapatkan antusias masyarakat. Namun, perlu pendekatan yang apik sehingga program yang berjalan tidak hanya serta merta berjalan saat itu juga namun berdampak dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang apa itu mencegah sakit, bukan mengobati yang sakit. Pendekatan jangka panjang.
Mungkin pendekatan yang kami lakukan apalagi dalam lingkup satu kecamatan nilainya sangat kecil, apalagi jika dibandingkan prosentase target Nasional. Sumbangan satu daerah mungkin tidak menggeser berarti nilai capaian Nasional. Namun, bukan hanya capaian secara kuantitatif saja apa yang kami harapkan, tapi jauh dari itu.
Melihat senyuman dari ibu yang berhasil diselamatkan ketika bersalin, bayi yang berhasil mendapatkan hak 6 bulan ASI Eksklusifnya, atau melihat balita yang naik berat badannya menjadi normal sudah membuat capaian besar dalam tim. Kualitas dan pemahanan yang benar tentang kesehatan jauh lebih berarti.
Program Pencerah Nusantara juga telah diadaptasi oleh pemerintah menjadi program Nusantara Sehat. Program serupa yang dapat menjadi bagian dari gotong royong pemuda negeri ini dalam pembangunan kesehatan. Kita mungkin tidak melihat perubahan dalam kerangka satu atau dua tahun, tapi kami optimis dampak jangka panjang akan terasa.
Langkah besar dimulai dari langkah kecil yang berani. Langkah kecil tersebut adalah menemukenali aktor-aktor lokal yang mampu menggerakkan. Ternyata masih banyak orang baik yang membangkitkan optimisme kami.
Masih ada pemegang kebijakan yang berorientasi dan bertindak nyata untuk akselerasi pembangunan daerah, masih banyak orang-orang yang tersebar di desa-desa yang peduli dan mau untuk bekerja bersama membentuk lingkungan sehat.
Salah satu hal yang kami inisiasi juga adalah terbentuknya komunitas remaja peduli kesehatan. Komunitas yang terdiri atas anak-anak muda daerah yang berani, mau, dan mampu untuk memberi teladan baik dan berbeda.
Mereka tidak merokok, tidak memakai narkoba, tidak menyentuh minuman keras, dan tidak bergaul yang melampaui batas norma. Mereka kemudian berkumpul dan saling bertukar pikiran. Selain itu, kelompok remaja yang bernama Sriwijaya Muda ini pun sudah mulai bergerak.
Mereka melakukan penyuluhan di sekolah-sekolah dan masyarakat. Banyak mengenal mereka, semakin banyak pula hal yang kami dapat. Jika mereka sering mengatakan bahwa “Kami banyak belajar dari Kakak Pencerah,” maka sejatinya kami justru lebih banyak belajar dari remaja Sriwijaya Muda.
Remaja desa tumbuh besar dengan perjuangan, dari mereka kami justru mengenal kerasnya hidup. Pencapaian dan usaha mereka dalam menghadapi tantangan kemudian berhasil tumbuh dan berkembang seperti sekarang itu adalah kisah hidup yang luar biasa. Ada yang tumbuh dalam keluarga yang tidak lengkap. Ada yang harus berjuang keras demi tidak bergabung lagi dengan pecinta alkohol. Ada pula yang memang paham dan ingin merubah teman dekatnya yang sudah terlanjur salah bergaul. Cerita yang berbeda dengan masa remaja kami. Cerita yang mewarnai.
Warna cerita lain muncul dari kader inspiratif kami. Seorang muda yang totalitas dalam kegiatan. Ia adalah seorang guru honorer di salah satu Sekolah Dasar. Menjadi kader posyandu dan penggerak karang taruna desa.
Santi, gadis yang selalu menjadi andalan kami untuk melanjutkan estafet bersama kader-kader inspiratif lain. Setelah beberapa kegiatan rutin yang berhasil menghimpun puluhan warga, sekarang Santi sedang sibuk membangun rumah baca. Rumah baca ini merupakan inisiasi bersama Pencerah Nusantara dengan niat untuk menumbuhkan minat baca dan memperluas wawasan anak-anak. Semoga sukses !
Sebenarnya bukan hanya pendekatan langsung yang kami coba kenalkan pada aktor-aktor masyarakat ini. Tapi juga pendekatan tidak langsung. Misalnya terkait rumah baca tadi, dengan cara bercerita agar anak-anak tertarik, kami juga mampu menyisipkan pesan-pesan kesehatan di sana. Paradigma sehat yang terpenting adalah masyarakat paham bahwa kita harus mencegah sakit dengan hidup sehat, bukan mengobati setelah sakit.
Kami sadar bahwa tonggak berjalannya program di desa ada pada masyarakat desa. Ketika mereka sadar dan berdaya, maka dengan sendirinya program kesehatan berjalan. Sebab banyak program yang bersumber pada pemberdayaan masyarakat. Beruntungnya kami banyak menemukan tokoh-tokoh inspiratif baik dari tingkat pemegang kebijakan hingga level masyarakat.
Kami juga menemukenali orang-orang yang punya power dan bisa menggerakkan masyarakat desa untuk lebih baik. Inilah yang menjadi alasan kami untuk optimis. Inilah titik awal perubahan paradigma sehat.
Masih banyak orang baik di sekitar kita, masih banyak alasan untuk optimis pada Indonesia. Pada akhirnya, kami tidak bersedih karena ini berakhir, tapi kami bersyukur karena ini pernah terjadi.
—–
Penulis
Maharani Jibbriellia, S.Gz.
Alumni Pencerah Nusantara (ALURA)
Penempatan Muara Enim, Sumatera Selatan
Batch 4