Dalam dua hari terakhir berturut-turut Serambi Indonesia memberitakan tentang Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Muyang Kute, Bener Meriah. Pada edisi Sabtu dilaporkan kepanikan terjadi di RSU itu pada Jumat (3/3) pagi. Puluhan keluarga pasien tergopoh-gopoh mengemasi barangnya karena beberapa petugas medis di rumah sakit itu meminta mereka segera ke luar dari ruangan.
Ternyata seluruh staf, termasuk dokter dan perawat hendak mogok massal. Sebuah spanduk di pintu gerbang rumah sakit itu juga menegaskan adanya mogok massal yang mereka lancarkan. Pada hari itu RSUD Muyang Kute tidak melakukan tindakan pelayanan apa pun.
Beberapa petugas medis mengatakan, aksi mogok seluruh dokter spesialis dan staf rumah sakit itu terjadi sebagai akibat dari kosongnya stok obat di rumah sakit. Selain itu, seluruh staf termasuk dokter dan perawat juga belum menerima gaji selama beberapa bulan, termasuk dana jasa medis dari BPJS. Tak terkecuali gaji untuk tugas jaga malam. Dalam situasi seperti itu mereka pertanyakan bagaimana mungkin mereka bisa memberikan pelayanan terhadap pasien? Sebagai pelayan masyarakat, mereka tentunya harus mendapatkan hak-haknya.
Diberitakan juga bahwa Pelaksana Tugas (Plt) Bupati Bener Meriah, Rusli M Saleh mencopot Direktur RSUD Muyang Kute, dr Elisa Lisikmiko karena dianggap lalai dan lambat menangani permasalahan di rumah sakit tersebut, termasuk dalam mengatasi kurangnya stok obat-obatan serta gaji karyawan yang tak dibayar sejak Oktober 2016.
Plt langsung menunjuk Drs Abdul Muis MT (Asisten II Bidang Pembangunan dan Ekonomi Setdakab) sebagai direktur sementara. Kemudian, pada edisi Minggu kemarin Serambi melaporkan, RSUD Muyang Kute kembali normal. Pelayanan medis, administrasi, dan penunjang lainnya di RSU itu sudah normal lagi setelah sehari sebelumnya lumpuh total akibat mogok massal yang digerakkan semua unsur di rumah sakit tersebut.
Kita syukuri kondisi terbaru di RSUD tersebut, karena mogak massal sudah berakhir, pelayanan pun sudah kembali normal. Tapi banyak pelajaran penting yang bisa kita petik dari kasus ini. Salah satu yang utama adalah petugas medis seharusnya tidak mengorbankan pasien karena masalah internal antara manajemen rumah sakit dengan tim dokter dan paramedis. Kedua, seorang direktur harus mampu mengatasi kemelut di RSUD yang ia pimpin, sehingga tidak menimbulkan gejolak massif yang berujung pada mogok total seluruh staf. Jika ia tak mampu menangani, maka langkah pencopotan sang direktur dari jabatannya adalah solusi yang tepat.
Ketiga, para dokter umum dan dokter spesialis seharusnya tahu bahwa mogok kerja itu melanggar sumpah profesi, sumpah yang diucapkan dengan penegasan demi Allah.
Kita berharap, mogok massal yang nyata-nyata merugikan hak pasien ini cukuplah terjadi sekali di RSUD Muyang Kute. Jangan ada lagi rumah sakit di Aceh, apalagi milik pemerintah, yang mengikuti langkah keliru dan tak humanis ini.
Sambil mencari tambahan obat dan membayar gaji staf RSUD yang tertunggak, penting pula bagi pemkab setempat untuk mencari tahu siapa provokator yang mendalangi aksi mogok massal tersebut, tentunya untuk ditindak tegas. Dunia medis mestinya harus bersih dari anasir-anasir politis, provokatif, agitatif, maupun adu domba.