Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) menemukan hubungan antara perekonomian nasional terhadap kondisi kesehatan masyarakat Indonesia.
Seperti misalnya, penyakit tidak menular atau yang biasa disingkat menjadi PTM merupakan penyakit yang sebenarnya berbahaya bagi perekonomian bangsa Indonesia.
PTM ini berbahaya tergantung dari bagaimana penggunaan rumah tangga terhadap garam, gula, dan minyak.
Penyakitnya pun bukanlah penyakit yang sepele yakni diabetes, tekanan darah tinggi, obesitas, dan masih banyak lagi.
Guru Besar IPB, Prof. Dominicus Savio Priyarsono dan Dosen Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB untuk melakukan penelitian terhadap bahaya penyakit tidak menular yang ternyata bukan saja berpengaruh terhadap kesehatan, tetapi juga terhadap ekonomi dan kesenjangan sosial.
“Masalah penyakit tidak menular ini berkaitan terhadap pertanian yakni tentang produksinya yang perlu dikendalikan sehingga tidak terlalu banyak. Jadi dilema kalau produksinya dikurangi nanti kesempatan kerja berkurang sehingga devisanya juga berkurang. Namun jika terlalu banyak produksi mengakibatkan terlalu banyaknya konsumsi,” tuturnya.
Peredaran komoditas pangan seperti gula, garam, dan minyak yang terus meningkat merupakan masalah besar.
Keputusan Kementerian Perindustrian RI melonggarkan aturan impor gula mentah demi kebutuhan dalam negeri memang tak terhindarkan.
Berdasarkan hasil survei dari BPS dan Kementerian Pertanian RI, pada tahun 2016 setidaknya Indonesia memiliki kebutuhan gula nasional sebanyak 6,2 juta ton.
Kebutuhan konsumsi gula nasional ini tidak berbanding lurus dengan total produksi gula yang ada di Indonesia karena pada tahun 2016 total produksi gula Indonesia hanyalah 2,2 juta ton, artinya untuk dapat memenuhi kebutuhan gula nasional Indonesia harus mengimpor gula sebanyak 4 juta ton.
Impor ini terpaksa dilakukan karena terbatasnya pasokan bahan bakudari perkebunan tebu.
Maka tidak mengherankan bila produksi gula Indonesia masih memprihatinkan.
Total produksi gula Indonesia bahkan jauh tertinggal dibandingkan Thailand yang mampu menghasilkan gula lebih dari 10,6 juta ton per tahun.
Padahal di masa kolonial, Indonesia pernah menjadi eksportir nomor dua di dunia, dengan jumlah pabrik 179 buah.
Untuk itu dibutuhkan solusi pada titik keseimbangan yang aman untuk dikonsumsi serta di lain pihak juga tidak menyebabkan banyak pengangguran.
Menurutnya, solusi yang perlu dilakukan adalah perlu adanya solusi menyeluruh, yakni pengontrolan dari produksi hingga konsumsi.
Makna solusi secara menyeluruh tersebut adalah dari sisi distribusi yaitu untuk dapat menurunkan permintaan terhadap gula maka dapat dilakukan dengan menerapkan pajak seperti di luar negeri yang menerapkan pajak pada rokok, sehingga dapat menekan konsumsi.
Karena jika harga suatu barang naik, maka otomatis permintaan akan turun.
“Namun selain itu dari sisi konsumsi diperlukan pula penyuluhan kepada ibu-ibu dan anak-anak untuk mengetahui bahaya dari konsumsi,” ujarnya.
Sumber tribunnews.com