Defisi Penyakit
Rutinitas dan kesibukan dalam beraktifitas terkadang justru mendatangkan berbagai macam penyakit. Salah satu diantaranya adalah maag. Maag disebabkan oleh makan tidak teratur, menunda waktu makan atau bahkan tidak makan (diet) menyebabkan lambung bekerja terus menerus meskipun tidak ada makanan yang masuk sehingga kerja lambung menjadi berat dan berakibat terjadinya peradangan. Selain pola makan maag juga dapat disebabkan oleh perubahan gaya hidup seperti merokok, konsumsi obat pereda nyeri, minuman beralkohol, bersoda, dan stress. Maag merupakan sebutan orang awam untuk dispepsia yaitu rasa nyeri (perih, panas seperti terbakar) atau rasa tidak menyenangkan (sebah, penuh) pada perut bagian atas.
Menurut WHO penderita dispepsia di dunia mencapai 15–30% setiap tahun. Prevalensi di Asia sekitar 8-30% dan di Indonesia khususnya, mencapai 40–50%. Pada tahun 2020 diperkirakan angka kejadian dispepsia terjadi peningkatan dari 10 juta jiwa menjadi 28 juta jiwa setara dengan 11,3% dari keseluruhan penduduk di Indonesia. Salah satu provinsi yang memiliki angka kejadian dispepsia tinggi adalah Provinsi Jawa Barat yang mana pada tahun 2022 mencapai 34.815 kasus atau (4,95%) dari total kasus. Kabupaten Tasikmalaya menjadi salah satu kota di Jawa Barat dengan angka kejadian dispepsia tinggi mencapai 21.218 kasus di tahun 2023.
Gejala Penyakit
Adapun sejumlah gejala yang termasuk ke dalam sindrom dispepsia adalah sebagai berikut:
1. Mudah kenyang.
2. Perut terasa begah dan kembung setelah makan.
3. Nyeri dan perih pada bagian ulu hati.
4. Sensasi panas dan terbakar pada ulu hati yang bisa menjalar hingga ke kerongkongan.
5. Mual.
Pencegahan dan Pengobatan
Pencegahan terhadap dispepsia dapat dilakukan dengan beberapa langkah berikut :
1. Pencegahan Primer : Bertujuan untuk mencegah gangguan yang disebabkan oleh dispepsia pada individu yang memiliki faktor risiko. Langkah-langkahnya termasuk membatasi atau menghilangkan kebiasaan tidak sehat seperti makan tidak teratur, merokok, mengkonsumsi alkohol, minuman bersoda, makanan berlemak, pedas, asam, dan menghindari makanan yang menyebabkan gas di lambung. Menjaga berat badan agar tetap ideal, rajin berolahraga, dan mengelola stres juga dapat menurunkan risiko dispepsia.
2. Pencegahan Sekunder : Melibatkan penyesuaian diet dengan mengonsumsi makanan dalam porsi kecil yang mudah dicerna, tidak merangsang peningkatan asam lambung, dan dapat menetralisir asam HCL. Obat-obatan seperti antasida, antagonis reseptor H2, penghambat pompa asam (PPI), sitoprotektif, dan prokinetik dapat digunakan untuk mengatasi dispepsia. Dalam beberapa kasus, terapi psikoterapi dan psikofarmakologi (obat anti-depresi atau anti-cemas) juga diperlukan jika terkait dengan faktor kejiwaan.
3. Pencegahan Tersier : Melibatkan rehabilitasi mental melalui konseling dengan psikiater untuk mengatasi gangguan mental yang mungkin dialami oleh penderita dispepsia. Rehabilitasi sosial dan fisik juga penting bagi pasien yang telah lama dirawat di rumah sakit agar dapat kembali beradaptasi dengan masyarakat.
Yuk, mulai sekarang kita biasakan untuk menjaga pola makan yang teratur, memilih makanan yang sehat dan seimbang, menghindari kebiasaan buruk seperti merokok dan konsumsi alkohol, serta rutin berolahraga dan mengelola stres dengan baik. Dengan menerapkan gaya hidup sehat secara konsisten ini, kita dapat menjaga kesehatan pencernaan dan mencegah munculnya gejala dispepsia.
Artikel Edukasi Dispepsia ini telah direview oleh:
Sri Nurjanah, S.K.M.
Staf Promkes Puskesmas Rajapolah
Email : puskesmasdtprajapolah@yahoo.co.id
Telp : (0265) 420003
Instagram : puskesmasrajapolah
Youtube: puskesmasrajapolah4878