24 Maret 2017 , adalah Hari TB sedunia.
Di Indonesia , Sepi tanpa kabar berita.
Walau Indonesia memiliki penderita TB terbesar kedua
Dibanding negara seluruh dunia lainnya.
Ketika orang bertanya: Mengapa bisa terjadi seperti itu
Aku tertunduk lesu
Karena aku tahu
Mereka melupakan Puskesmas sejak dulu.
Kebijakan pemberantas TB paru
Selalu ditekankan : Tak boleh aktif mencari kasus baru
Agar bisa diobati atau setidaknya dipandu
Agar bisa mencegah penyakitnya menyebar kesegala penjuru
Sejarah pemberantasan TB di Indonesia
Adalah ceritera cara pengobatan penderita TB paru semata
Tak ada kata pencegahan
Tak ada upaya perbaikan perilaku dan lingkungan
Penyakit TB paru merajalela bertahun tahun lamanya
Dicari tidak, diobati juga tidak sepenuhnya
Pencegahan tak dilakukan juga
Dan mengejar kecanggihan pengobatan yang tak pernah kesampaian pula.
Para pakar datang memantau program kita
Menanyakan Genexpert dan Igra
Pemeriksaan laboratorium super modern yang ada
Juga Multi drug resisten dan obatnya yang mahal pula
Pencegahan? Siapa peduli ?
Penderita TB paru mati satu persatu dalam sepi.
Menularkan kian kemari tanpa halangan
Ibarat tinju tanpa tandingan
Akankah keadaan berubah ?
Bisa jadi jumlahnya akan meningkat dan menjadi nomor satu sedunia
Menyalip jumlah kasus TB di India
Yang sekarang masih mengungguli Indonesia
Aku hanya termenung.
Kapan pencarian aktif dilakukan
Dan pencegahan di prioritaskan
Sehingga kasus tidak meningkat tanpa perlawanan ?
Kus Sularso, Banyumanik 31 Maret 2017
(Pemborosan demi pemborosan terus dilakukan, Narkoba, HIV, TB Paru , sampah , banjir, asap dari pembakaran hutan. Semua menyedot keuangan rakyat dan negara. Yang sebenarnya bisa dicegah kalau kita mau melakukannya.)