SENYUM semringah terpancar di wajah Kadek Yanti, panggilan akrab Ni Made Utami Dwipayanti, ketika bertemu dengan rombongan peserta International Media Visit (IMV) Australia 2017, di sebuah kafe di St Lucia Campus, The University of Queensland, Brisbane, Australia, Selasa (9/5/2017) lalu.
Kadek Yanti adalah mahasiswa S3 Program studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran di Griffith University yang menerima beasiswa Australia Awards College.
Kegembiraan Kadek Yanti bukan tanpa alasan. Dia mengaku gembira karena bertemu para jurnalis dari Bali yang menjadi peserta IMV Australia 2017.
Apalagi dia akan menyelesaikan pendidikannya di Australia pada Juni 2017 dan akan menerapkan ilmu yang diperolehnya untuk menolong krama Bali dalam bidang sanitasi masyarakat.
“Astungkara saya akan lulus Juni 2017 ini. Setelah itu, saya akan menerapkan ilmu yang diperoleh di sini (Australia, Red). Saya punya aktivitas kesehatan masyarakat di Munti Gunung Karangasem. Itu juga menjadi bahan tesis saya,” kata dosen Kesehatan Masyarakat di Universitas Udayana (Unud) ini.
Kadek Yanti menyebutkan, Indonesia punya pekerjaan rumah (PR) yang besar terkait sanitasi.
Laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, Indonesia memiliki penduduk terbesar di dunia yang tidak punya akses sanitasi dasar, di antaranya tidak punya toilet.
Jumlahnya 20 persen dari jumlah penduduk Indonesia.
“Saya bersama teman-teman di Ilmu Kesehatan Masyarakat menawarkan frame work yang bisa membantu teman-teman di tingkat lokal. Dengan frame work ini, mereka bisa mengidentifikasi kebutuhan di masing-masing lokal daerah. Dengan frame work ini stakeholder harus duduk bersama untuk mengidentifikasi masalah, lalu memberi solusi dengan melibatkan dinas masing-masing. Ada map (peta) semua bagian dan proses kerja,” kata Kadek Yanti.
Kadek Yanti mengatakan, frame work itu akan mempertimbangkan faktor teknis, juga faktor sosial, misalnya seperti di Bali yang masyarakatnya banyak melakukan ritual keagamaan.
Masyarakat harus punya network dengan pemerintahan, tapi ternyata mereka kesulitan dalam berkomunikasi.
“Kalau ada planning di tingkat desa, maka saya harapkan diikutkan sanitasi sebagai program yang harus dilakukan. Kita rangkul MUDP (Majelis Utama Desa Pakraman, Red) untuk program sanitasi. Tapi tidak bisa MUDP saja karena mereka tidak punya dana. Jadi tetap harus dilibatkan dinas-dinas yang memiliki dana, tenaga, dan program.Peta itu juga akan menentukan siapa berperan apa dan harus dengan teknis, mulai dari perencanaan, sampai dengan buangan hasil sanitasi,” katanya.
Kadek Yanti menyebut program kerjanya itu dengan nama Integrated Frame Work for Sanitation Service.
Tahapannya ada lima yakni, pertama, building healthy public policy. Kedua, creating supporter environment. Ketiga, community action.
Selanjutnya, improve individual skill. Dan terakhir, reorient health service.
Selama ini, kata Yanti, kesehatan masyarakat bersifat kuratif (pengobatan). Itu harus diganti supaya menjadi health promotion.
Artinya, dokter bukan hanya memberi obat, tapi juga memberi pengetahuan untuk tetap hidup sehat.
“Frame work sanitasi itu tidak bisa ditangani secara individual, tapi harus bersifat komunal, policy (kebijakan pemerintah), juga memperhatikan culture (budaya) masyarakatnya. PR saya adalah bikin guideline ringkas yang bisa praktis untuk dipakai oleh puskesmas-puskesmas dan pihak-pihak di banjar-banjar agar mudah menerapkannya,” kata Kadek Yanti.
Di sela-sela penjelasan program kerja yang akan dilakukannya, Kadek Yanti juga bercerita tentang kisahnya mendapatkan beasiswa.
Dia mendapat beasiswa setelah mengajukan proposal beberapa kali.
Kalau beasiswa S2 yang ditempuh sebelumnya terkesan diam-diam, untuk proses beasiswa S3 kali ini dijalaninya dengan keberangkatan resmi, atas sepengetahuan dan seizin pimpinannya.
“Saya mendapat beasiswa tahun 2013 lalu. Dari 20 peserta Australia Awards yang diterima tahun itu, hanya saya yang dari Bali. Persiapan keberangkatan pun terbilang singkat. April Mei ditraining, Juni sudah berangkat. Awalnya mau training di Jakarta, tapi saya minta di Bali saja supaya bisa smooth untuk proses transfer pekerjaan ke teman yang lainnya,” katanya.
Menurut Kadek Yanti, mereka mendapat biaya studi 30 ribu dolar Australia per tahun yang diberikan tiap dua minggu.
Itu biaya untuk studi dan kehidupan. Karena dinilai kurang, maka Yanti bekerja paruh waktu.
Namun untuk mahasiswa hanya diizinkan bekerja maksimal selama 20 jam per minggu.
“Biaya kos 385 per minggu untuk rumah saja. Ditambah dengan listrik dan internet jadi 450 ribu per minggu. Itu terasa berat. Setahun pertama saya sendiri. Tapi setelah itu suami dan anak-anak pindah ke sini. Kami menyewa unit apartemen. Agar bisa menutupi biaya kuliah dan kehidupan, suami yang dulunya di Bali bekerja sebagai arsitek, di sini bekerja sebagai cleaning service kampus. Dia bekerja empat jam per hari selama lima hari kerja per minggu. Gajinya lumayanlah, 24 dolar per jam,” ujar Yanti.
Selain Kadek Yanti, rombongan peserta IMV 2017 juga berjumpa dengan Zulkarwin, Lurah Cakra Selatan Baru, Mataram, NTB yang mengmbil program kuliah Government and Public Policy. Juga ada beberapa mahasiswa lain yang mendapat beasiswa maupun kuliah dengan biaya sendiri.
Mereka sedang berjuang meraih ilmu untuk diterapkan di daerah asal masing-masing untuk kebaikan masyarakatnya.
Sumber bali.tribunnews.com