Ini tentang seorang pasien yang pernah menderita kusta yang sudah sembuh dari sakitnya. Namun, ada beberapa kecacatan di tubuhnya.
Saya masih ingat sekali, di hari pertama saya bertugas di Puskesmas Losari, Kabupaten Cirebon, setelah apel pagi, seorang perawat pemegang Program Kusta, Maelah, di Puskesmas Losari menghampiri saya dan langsung bilang, “Dok, kita punya banyak pasien kusta disini. Nanti mohon bantuannya ya Dok.”
Jujur saat itu saya merasa kaget sekali sewaktu tahu ada penyakit kusta di daerah ini.
Sewaktu saya sekolah di Fakultas Kedokteran Universitas Andalas dulu, saya hanya tahu penyakit ini dari buku dan diskusi kasus sewaktu saya koas di bagian kulit. Melihat foto-foto pasien, belajar tanda dan gejala, dan pengobatan tidak dari pasien langsung. Saya tidak pernah sebelumnya melihat langsung penderita kusta.
Antusias, sekaligus deg-degan sebenarnya akan menangani pasien kusta. Saya sangat penasaran dengan penyakit ini. Karena tidak hanya sifatnya yang menular, tapi stigma-stigma negatif serta kecacatan yang disebabkan oleh kusta membuat saya ingin sekali membantu penderita kusta di Losari.
Terlebih lagi karena pesan salah seorang dokter kulit sewaktu saya belajar di bagian kulit RSUP dr. M.Djamil
dulu, “Sungguh-sungguhlah belajar mengenai kusta ini, saat ini memang kalian tidak bisa bertemu langsung dengan pasien kusta, tapi DOSA jika suatu saat nanti kalian bertemu dengan pasien kusta, tapi kalian tidak mampu mengenali penyakit ini dan pasien tidak mendapat pengobatan yang selayaknya.” Kebetulan saat itu, tidak ada pasien kusta yang datang ke rumah sakit.
Sekitar 2 bulan saya di Puskesmas Losari, saya dapat telpon dari IGD, ada seorang perempuan usia 12 tahun, dengan bengkak, merah, dan nyeri di seluruh tubuhnya. Ternyata perempuan itu adalah salah seorang penderita kusta, yang sedang menjalani pengobatan kusta. Dan saat itu mengalami hal yang disebut “Reaksi Kusta.”
Ia tidak sendiri, tapi kakak laki-lakinya yang berumur 30 tahun juga seorang penderita kusta. Harusnya saat itu ia duduk di kelas 1 SMP. Tapi sejak semakin banyaknya bercak-bercak putih di kulitnya, ia semakin minder dan tidak mau untuk bersekolah lagi.
Saat itu saya langsung memberi kortikosteroid dosis tinggi dan mengawasi pengobatan perempuan ini bersama pemegang program kusta selama 6 minggu. Pasien tadi alhamdulillah sembuh. Dan kita terus memotivasi agar mau terus berobat, supaya bisa sekolah lagi. Berita baiknya, sekarang kulitnya sudah baik kembali dan dia sudah kembali sekolah lagi.
Di bulan September 2017, kami melakukan Intensif Case Finding untuk menemukan pasien dengan penyakit kusta. Waktu itu kami mendatangi rumah-rumah disekitar tempat tinggal penderita kusta dan mencari warga dengan keluhan kulit untuk menemukan kasus baru kusta. Tim ICF ini terdiri dari Bidan Desa (Bd. Diana) , Perawat Desa (Nalela), Pemegang Program Kusta (Perawat Maelah, Perawat Senior Puskesmas Pak Dowi), Kader Desa (Ibu Ipah), dan saya sendiri.
Dari hasil ICF tersebut ditemukan 1 orang laki-laki umur 18 tahun dengan bercak putih mati rasa yang banyak ditubuhnya. Anak ini sangat tertutup, tidak mau bertemu dengan siapa-siapa dan hanya berada didalam rumah karena malu dengan kondisi kulitnya. Dan setelah kita periksa, benar dia adalah penderita kusta.
Saat ini kasus kusta di Losari terus meningkat dari tahun ke tahun. Ditahun 2016 ada 15 kasus, tahun 2017 menjadi 17, dan skrng bertambah 2 kasus lagi (19). Kalau tidak salah, di Kab.Cirebon sendiri ada 300 kasus. Untuk wilayah timur paling banyak di wilayah Losari.
Masyarakat Losari justru banyak yang tidak tahu tentang penyakit ini. Walaupun di sekeliling mereka ada penderita kusta, tapi mereka hanya menganggap ini penyakit kulit biasa. Tapi memiliki pandangan yang sedikit diskriminatif kepada orang-orang yang cacat karna kusta (bukan karena penyakitnya, tapi karena cacatnya).
Rata-rata kalau ditanya tentang kusta, masyarakat tidak tahu apa itu kusta. Hanya saja banyak penderita kusta di Losari yang saya temui yang merasa minder dengan kondisi kulitnya. Sehingga memilih untuk menarik diri dari lingkungannya.
Kecamatan Losari punya 2 Puskesmas, Puskesmas Losari dan Puskesmas Astanalanggar. Wilayah kerja Puskesmas Losari ada di 6 desa, yaitu Panggang Sari, Losari Kidul, Losari Lor, Ambulu, Kalisari, dan Mulyasari. Puskesmas Losari terletak di perbatasan Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah, yang sebelah utaranya berbatasan langsung dengan Pantai Utara Jawa.
Karena terletak di garis pantai laut jawa, kondisi geografis ini menyebabkan sebagian wilayah rawan banjir, juga rawan intrusi air laut dan abrasi, terutama di wilayah Desa Ambulu.
Dengan luas wilayah 24.38 km, dengan penduduk laki-laki 19.363 jiwa dan perempuan 18.154 jiwa, terbanyak usia 22-59 (18.537 jiwa). Rata-rata pendidikan masyarakatnya lulus SD dan SMP. Bekerja sebagai nelayan, petani bawang merah, dan bekerja di Tambak. Sebagian ada juga yang memilih menjadi TKI/ TKW di Arab, Korea, dan Taiwan.
Kasus kusta terbanyak ditemukan di Desa Ambulu dan Mulyasari, dimana 2 desa ini adalah desa yang dekat dengan laut dan PHBS yang cukup rendah. Melihat banyaknya kasus, dan adanya kasus kecacatan di Losari, kami membuat “Kelompok Perlindungan Diri” untuk pasien-pasien kusta di Puskesmas.
Tentang Kusta
Kusta atau yang dikenal dengan Lepra atau Morbus Hansen adalah penyakit yang meyerang kulit, sistem saraf tepi, selaput lendir saluran napas, dan mata. Penyebabnya adalah kuman Mycobacterium leprae yang butuh waktu 6 bulan-40 tahun berkembang di tubuh seseorang.
Menular melalui kontak langsung yang lama dan berulang-ulang dengan penderita melalui pernapasan. Dapat bertahan diluar tubuh manusia selama 9 hari.
Pertama kalinya dikenal dulu di Mesir sekitar 1550 SM. Tahun 1837, dr. Gerhard Armauer Henrik Hansen dari Norwegia pertama kali menemukan kuman Lepra dibawah mikroskop, sehingga anggapan tentang Kusta adalah penyakit turun temurun, penyakit kutukan dari dosa terbantahkan!
Tanda: bercak putih seperti panu, khas tidak berasa, ada bintil-bintil kemerahan pada kulit, ada bagian tubuh yang tidak berkeringat, rasa kesemutan pada anggota badan atau raut muka dan mati rasa pada tubuh karena kerusakan syaraf. Pasien sering tidak merasa sakit bila luka terutama di kaki. Kusta ditakuti karna bisa menyebabkan kecacatan akibat dari kuman yang menyebabkan kerusakan saraf.
Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di daerah endemik, dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak memadai, air yang tidak bersih, asupan gizinyang buruk, dan adanya HIV yang menekan sistem imun.
Jawa Barat sendiri menduduki posisi kedua tertinggi setelah Jawa Timur untuk penemuan kasus kusta di Indonesia tahun 2013 (sumber: profil kes.indo 2013).
Karena pemegang programnya baru, dan aktif bergerak, beliau mulai aktif melaksanakan ICF (Intensif Case Finding). Pelaksanaan ICF ini juga bekerja sama dengan perangkat desa, kader dan melibatkan perawat desa dan bidan desa setempat.
Programer Kustanya juga sudah sering melakukan kunjungan rumah dan membentuk PMO (mirip dengan kasus TB) karena pasien dengan kusta juga harus minum obat selama 6-12 bulan. Dan yang terakhir kemarin PN dan Puskesmas lakukan adalah membentuk Kelompok Perlindungan Diri.
Untuk mencegah kecacatan pada pasien kusta, kami menemukan seorang motivator bagi penderita kusta, guru SLB Permata Bunda dan aktivis, Rusdin namanya. Dia adalah seorang yang telah berhasil sembuh dari kusta, tetapi terdapat beberapa kecacatan di tangan dan kakinya.
Motivator Kusta ini pertama kali terkena kusta kelas 4 SD, dan baru diobati pada usia 20 tahunan. Dan kondisinya jari tangan dan kaki sudah ada yang cacat.
Pengobatan kepada penderita kusta adalah salah satu cara pemutusan mata rantai penularan. Kuman kusta diluar tubuh manusia dapat hidup 24-48 jam. Bahkan hingga 7-9 hari. Tergantung suhu dan cuaca di luar tubuh manusia. Makin panas suhu, makin cepat kuman mati. Sehingga amat penting sinar matahari masuk ke rumah. Hingga saat ini tidak ada vaksin untuk kusta.
Jadi faktor pengobatan adalah amat penting dimana kusta dapat dihancurkan. Sehingga penularan dapat dicegah. Disinilah saya sangat menyadari, bahwa dokter tidak hanya bisa sekedar memberikan obat kepada pasien jika ingin meningkatkan taraf kesehatan masyarakat.
Disini letak pentingnya peranan penyuluhan kesehatan kepada penderita untuk berobat secara teratur dan kepada setiap orang. Masyarakat perlu tahu bahwa kusta dapat diobati, kasus menular tidak akan menular setelah diobati selama 6 bulan, enam dari tujuh kasus kusta tidaklah menular, diagnosa dan pengobatan dini dapat mencegah sebagian cacat fisik.
Salah satu masalah penghambat adalah stigma yang melekat di masyarakat. Tidak jarang mereka mendapat prilaku diskriminatif dalam hal mencari lapangan kerja, beribadah di rumah ibadah, menggunakan kendaraan umum, mendapatkan pasangan hidup, dan lain-lain. Hal ini tentu akan berdampak secara psikologis bagi mereka, sehingga menarik diri dari lingkungan, frustasi, bahkan upaya bunuh diri.
Dari sisi penanggulangan penyakit, stigma tadi menyebabkan mereka enggan berobat karena takut penyakitnya diketahui orang lain. Ini ibarat lingkaran setan yang tak terselesaikan.
Harapannya masyarakat tidak perlu mempunyai rasa takut berlebihan. Penderita kusta sebagai manusia juga berhak mendapat perlakuan sebagai manusia, sehingga keluarga dan masyarakat tidak perlu mengasingkan penderita kusta tersebut. Salah satu pasien saya bahkan sempat di kurung di suatu ruangan, tidak boleh kemana-mana karena takut akan menularkan penyakitnya.
Inilah yang kami upayakan agar mereka bisa seperti layaknya manusia biasa, dengan hak-hak yang sama.
Miris sekali rasanya ketika mendengarkan curhatan mereka tentang apa-apa yang mereka rasakan dari lingkungan sekitar.
Dia tidak berhenti menangis ketika bertemu dengan saya dgn kondisi kulit seperti ini. Beberapa hari tidak makan, dan sempat ingin bunuh diri😢
Di Losari sendiri, dari pengamatan saya, kasus kusta masih belum menjadi prioritas puskesmas dan pemerintah setempat. Upaya-upaya yang dilakukan masih sebatas dari pihak puskesmas saja. Pihak kecamatan dan desa masih belum menyadari tentang bahaya kusta, karena pengetahuan mereka tentang kusta masih kurang.
Terbukti ketika saya memaparkan tentang kasus ini kepada pihak kecamatan atau desa, respon yang didapat masih respon biasa-biasa saja. Masih kalah pamor dengan kasus-kasus penyakit menular lain seperti DBD.
Boleh saya angkat jadi komik tentang stigma kusta kak?
Hallo kak, boleh minta nomor WA kaka? Atau bisa hubungi kami Kesmas-ID di
wa.me/6285879406300