Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan telah mengatur kawasan yang dilarang untuk kegiatan produksi, penjualan, iklan, promosi dan/atau penggunaan rokok.
Kawasan tersebut dinamakan kawasan tanpa rokok (KTR), sebagaimana termaktub pada pasal 1 Peraturan Pemerintah tersebut. Bahkan pasal 22 peraturan tersebut juga menetapkan area yang dijadikan sebagai kawasan tanpa rokok antara lain adalah tempat umum, sarana kesehatan, tempat kerja dan tempat yang secara spesifik sebagai tempat proses belajar mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah dan angkutan umum.
Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 115 ayat 1 menegaskan kembali area yang dijadikan sebagai kawasan tanpa rokok tersebut, sedangkan ayat 2 menyatakan bahwa Pemerintah daerah wajib menetapkan kawasan tanpa rokok di wilayahnya, walaupun di dalam penjelasannya dinyatakan bahwa pemerintah daerah dalam menetapkan kawasan tanpa rokok harus mempertimbangkan seluruh aspek secara holistik, namun tetap saja KTR merupakan amanat Undang-Undang yang harus dijalankan demi untuk kepentingan umum dan kesehatan orang banyak.
Undang-Undang tersebut bahkan memuat sanksi hukum bagi yang melanggarnya. Pasal 199 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tersebut menyebutkan bahwa sanksi hukum bagi orang yang dengan sengaja melanggar kawasan tanpa rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 dipidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Sebenarnya, sanksi hukum terhadap pelanggaran kawasan tanpa rokok bukanlah yang paling utama, tetapi lebih pada aspek pembelajaran terhadap seseorang dalam memenuhi hak orang lain, terutama hak atas udara bersih dan menikmati udara yang bebas dari polusi asap rokok. Banyak orang tahu dan mengerti bahwa asap rokok yang dikeluarkan berdampak negatif terhadap kesehatan, baik bagi si perokok, terlebih bagi orang yang ada di sekitarnya. Namun, kesadaran seseorang akan hak orang lain dalam menikmati udara bersih dan sehat seringkali masih terabaikan dikarenakan terlebih dahulu memenuhi hak pribadi daripada hak orang lain.
Kondisi tersebut menjadikan KTR sebagai kebutuhan yang sangat mendesak, mengingat banyaknya orang yang merokok tidak mengenal tempat. Kondisi yang demikian tentu saja sangat berdampak buruk terhadap kesehatan seseorang, tidak hanya kesehatan si perokok, tetapi juga kesehatan orang lain yang berada di sekitar perokok tersebut.
Ketiadaan KTR akan meningkatkan jumlah perokok pasif (secondhand smoker) yang sangat rentan dan beresiko terhadap dampak buruk asap rokok, walaupun yang bersangkutan tidak merokok. Bahkan, orang-orang yang berada di ruangan bekas orang merokok atau seorang anak yang bermain atau mencium-cium baju/pakaian orang yang digunakan untuk merokok, walaupun tidak secara langsung menghisap asap rokok, mereka inipun juga rentan terhadap dampak asap rokok. Mereka inilah yang dikenal dengan third smoker (perokok tangan ketiga).
Suri Teladan Insan Kesehatan & Insan Pendidik
Bagaimanapun juga, peran Insan Kesehatan (Dokter, Perawat/Mantri, Bidan, Sanitarian, Analis, Nutrisionis dan lainnya) dan Insan Pendidik (Guru, Ustadz dan Dosen) sangat diperlukan dalam memberikan pembelajaran sekaligus contoh hidup sehat bagi masyarakat, termasuk dalam hal rokok.
Insan kesehatan sebagai pemprakarsa hidup bersih dan sehat, sedangkan guru sebagai sosok yang digugu dan ditiru sangat besar peranannya dalam memasyarakatkan kesehatan dan menyehatkan masyarakat. Bagaimana tidak, apabila ada orang kesehatan hidup tidak sehat, maka ia akan dijadikan barometer (tolok ukur) masyarakat dalam berperilaku.
Begitu pula dengan guru, dimana dia seharusnya berdiri di depan menjadi teladan bagi muridnya, akan sangat disayangkan kalau ia mempunyai wawasan yang sempit terhadap kesehatan dan berperilaku tidak sehat, sehingga ia dijadikan contoh jelek oleh muridnya. Akan dikemanakan muridnya esok hari, tergantung gurunya hari ini. Walaupun kita sadari, keberadaan murid di sekolah dalam sehari-harinya hanya sebentar, bahkan lebih banyak di rumah dan di lingkungan sekitarnya.
Namun, peranan guru sebagai figur dan teladan bagi muridnya amat sangat diperlukan. Banyak anak yang lebih menurut kepada guru dibandingkan kepada orang tuanya. Hal ini dapat dimanfaatkan oleh para guru dalam memberikan masukan penting bagi muridnya, terutama terhadap hal-hal yang dapat berdampak negatif terhadap kesehatan, seperti rokok dan lainnya.
Keterlibatan institusi kesehatan dan pendidikan, insan kesehatan dan insan pendidik dalam memberikan pengertian dan teladan untuk menciptakan kawasan tanpa rokok sangat diperlukan. Sekali lagi, tolok ukurnya adalah institusi kesehatan dan pendidikan termasuk sumber daya manusia yang ada di dalamnya, karena keduanya merupakan figur yang dijadikan contoh oleh masyarakat.
Kita tidak dapat berharap banyak dalam penerapan kawasan tanpa rokok di sarana ibadah, tempat kerja, tempat umum dan angkutan umum, selama institusi kesehatan dan pendidikan tidak memulainya. Bagaimana mungkin mengajak dan menyuruh orang terlibat, tetapi yang menjadi pilot projectnya hanya diam saja atau justru sebaliknya, menjadi contoh yang tidak layak dicontoh.
Keliru Menterjemahkan Peraturan
Sebagian institusi (walaupun masih sedikit) telah berupaya menjadikan lingkungannya menjadi kawasan yang tidak memperkenankan seseorang untuk merokok di dalamnya. Namun sayangnya, kalimat yang dipakai dapat dimultitafsir dan disalahartikan. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan oleh karena banyaknya alibi atau alasan seseorang untuk melakukan tindakan yang menyimpang, termasuk perilaku merokok.
Pernahkah anda membaca tulisan di suatu institusi berupa “KAWASAN BEBAS ROKOK”? Bagaimana kalau kata ketiga diberi imbuhan me-? Tentu tulisan itu akan menjadi KAWASAN BEBAS MEROKOK. Inilah yang ditafsirkan para ahli hisap di kawasan bebas rokok.
Karenanya, Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Kesehatan tidak menggunakan istilah KAWASAN BEBAS ROKOK, tetapi menggunakan KAWASAN TANPA ROKOK. Walaupun diotak-atik, kalimat itu tetap menjadi tanpa rokok atau tanpa merokok. Maknanya sungguh jauh berbeda dengan bebas merokok.
Selama istilah yang digunakan bebas rokok, maka jangan disalahkan apabila masih banyak orang yang bebas merokok di area tersebut. Untuk itu, para stakeholder (pengambil kebijakan) di suatu institusi hendaknya benar-benar mempelajari dan menelaah peraturan yang ada, sehingga penggunaan istilah dapat sesuai dan tepat dengan apa yang diharapkan. Pemasangan spanduk dan papan peringatanpun akan sangat bermakna, apabila kata yang digunakan tepat dan mengena.
Kita – selaku masyarakat – berharap, lebih banyak lagi institusi – terlebih institusi kesehatan dan institusi pendidikan – yang mengembangkan kawasan tanpa rokok bukan kawasan bebas (me)rokok. Apabila telah dikembangkan KTR tersebut, diharapkan individu-individu yang berada di dalamnya, baik pelaksana layanan maupun pelanggannya dapat bersama-sama mentaatinya, sehingga kawasan tanpa rokok dapat terwujud sebagaimana yang diharapkan demi melindungi kesehatan orang-orang yang berada di area itu.
Apalah artinya slogan ataupun papan peringatan, tanpa diiringi kesadaran bagi orang yang membacanya. Kita juga berharap insan-insan kesehatan dan pendidikan menjadi pelopor pelaksanaan kawasan tanpa rokok. Kitapun juga berharap bahwa ancaman hukuman yang tertera di Undang-Undang tentang Kesehatan terhadap pelanggar KTR tidak hanya menjadi macan kertas, tetapi ditegakkan seperti sanksi hukum yang ditetapkan Undang-Undang lainnya.
*) Penulis adalah praktisi promosi kesehatan dan pemerhati masalah sosial masyarakat, berdomisili di Sampit, Kalimantan Tengah.