Kontroversi Imunisasi, Mulai Teori Konspirasi Hingga Isu Vaksin Haram

Di lapangan masih ditemui banyak orangtua yang memutuskan tidak mengimunisasi anaknya karena berbagai alasan, diantaranya karena informasi yang kurang tepat

Penulis: Aslinar, Dokter Spesialis Anak RSUD Aceh Besar, Pengurus IDI Aceh Besar dan IDAI Aceh.

(Red: Tulisan ini pernah dimuat di Aceh.Tribunnews.com pada Sabtu, 14 Mei 2016 dan di terbitkan kembali di Kesmas-ID.com atas seijin Penulis.)

Program imunisasi Nasional di Indonesia sudah dijalankan oleh Kementerian Kesehatan sejak 1977. Namun sebenarnya imunisasi di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda. Setelah Indonesia merdeka, program imunisasi dilaksanakan sejak tahun 1956 melalui pemberian imunisasi cacar (variola) dan BCG. Kini, jenis dan jumlah vaksin yang diberikan kepada masyarakat Indonesia terus bertambah. Saat ini vaksin yang beredar di Indonesia dan direkomendasikan oleh Kementerian Kesehatan dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) adalah vaksin Hepatitis B, Polio, BCG, DPT- HiB, Campak.

Vaksin tersebut bisa didapatkan secara gratis di Puskesmas atau Rumah Sakit Pemerintah. Sedangkan beberapa vaksin lain yang merupakan rekomendasi IDAI yang juga sangat perlu untuk mendukung kesehatan bayi dan anak, belum termasuk dalam program imunisasi gratis dari Kemenkes sehingga masyarakat harus membayar untuk mendapatkannya. Vaksin tersebut yaitu Rotavirus, Pneumokokus (PCV), Influenza, MMR (Mump, Measles, Rubella), Tifoid, Hepatitis A, Varisella dan Human Papilloma Virus (HPV), bisa didapatkan di RS swasta atau praktek dokter spesialis anak.

Vaksin adalah suatu bahan berisi antigen (virus atau bakteri) yang dapat merangsang daya tahan tubuh (imunitas) yang dihasilkan oleh sistem imun tubuh. Imunitas adalah kemampuan tubuh manusia untuk menerima keberadaan bahan bahan yang dimiliki dan dihasilkan oleh tubuh itu sendiri maupun menolak dan menghilangkan benda benda asing yang berasal dari luar tubuh. Imunitas terhadap virus atau bakteri ini ditandai dengan terbentuknya antibodi terhadap organisme kuman tersebut. Jadi prinsip imunisasi adalah memberikan antigen lewat vaksin ke dalam tubuh, sehingga tubuh merespons dalam bentuk antibodi.

Adapun berbagai penyakit yang dapat dicegah dengan pemberian vaksin adalah Polio, Hepatitis B, Hepatitis A, Tuberkulosis (TB), Difteri, Pertusis, Tetanus, Meningitis, Pneumonia, Otitis Media, Sepsis, Diare karena Rotavirus, Campak, Gondongan, cacar air, Tifoid/tifus, influenza dan kanker leher rahim.

Hepatitis B yang disebabkan oleh virus hepatitis B (VHB) disebut sebagai silent killer, karena gejala yang tidak tampak bertahun tahun tetapi saat diketahui, pasien sudah mengalami sirosis hati dan kanker hati (hepatoma). Risiko kanker hati ini menjadi sangat tinggi jika infeksi Hepatitis B terjadi pada usia dini. Karena itu, vaksin Hepatitis B diberikan segera setelah lahir (dalam waktu 12 jam) disebabkan penularan ibu hamil yang mengidap Hepatitis B kepada bayinya sekitar 45%. Pemberian selanjutnya yaitu pada usia 1 dan 6 bulan.

Tidak Terwujud

Penyakit Polio ditargetkan bisa musnah pada 2000. Sayangnya harapan tersebut tidak terwujud sehingga strategi eradikasi Polio terus dilakukan, termasuk Pekan Imunisasi Nasional (PIN) Polio yang baru saja dilaksanakan pada 8-15 Maret 2016 lalu. Penyakit lain yang bisa dicegah dengan imunisasi yaitu difteri, yang kembali mewabah pada 2012. Tahun 2009, data Surveilan Kemenkes mencatat 189 kasus difteri dan terus beranjak naik menjadi 342 kasus pada 2010, 806 kasus pada 2011 dan puncaknya pada 2012 mencapai 1.192 kasus.

Di Aceh, kasus difteri juga meningkat, dari 2012 ditemukan sebanyak 16 kasus dan 4 orang di antaranya meninggal. Pasien berasal dari Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Utara, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan dan Pidie Jaya. Difteri merupakan penyakit saluran nafas berbahaya. Upaya pencegahannya melalui pemberian imunisasi DPT yang mulai diberikan usia 2 bulan, dilanjutkan usia 4,6 bulan dan pada saat anak memasuki SD.

Vaksin sering ditakuti karena mengandung bahan kimia yang dikhawatirkan membahayakan kesehatan. Sebagai produk bahan kimia, vaksin terdiri atas bahan aktif dan bahan tambahan. Bahan aktif yaitu virus atau bakteri yang merupakan antigen. Tubuh diharapkan menjadi kebal terhadap penyakit akibat virus/bakteri itu sehingga tidak menjadi sakit. Bahan aktif bisa berupa virus/bakteri utuh, virus sub unit, komponen bakteri, dan toksin bakteri. Sedangkan bahan tambahan yaitu berupa ajuvan, pelarut, stabilisator, pengawet dan komponen trace.

Sejak bermunculan kelompok antivaksin yang menyebar informasi tentang bahaya imunisasi secara luas kepada masyarakat, menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran. Banyak para orang tua yang terpengaruh setelah membaca informasi dari buku dan berita yang disebar oleh pegiat antivaksin, dan memutuskan untuk tidak memberikan imunisasi kepada anaknya. Hal ini tentu saja menyebabkan angka cakupan imunisasi semakin berkurang dan sangat dikhawatirkan bahwa penyakit yang sebelumnya sudah menghilang akan muncul kembali malah menimbulkan wabah. Akibat dari ketakutan dan menghindari imunisasi ini dapat mengancam nyawa.

Dengan menolak imunisasi, sebenarnya yang rugi bukan saja anak sebagai individu, namun juga anak-anak lain yang tinggal di sekitarnya. Sejak 2007, akibat gerakan antivaksin ini telah timbul 77.000 penyakit yang sebenarnya bisa dicegah. Data dari Jawa Barat menunjukkan pada 2010 terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) campak dengan total penderita 739, sedangkan di tahun 2011 meningkat 35 kali. Kerugian yang ditimbulakn karena KLB sangat besar, bukan hanya kesakitan tapi juga biaya. Bila terjadi KLB di suatu daerah maka dana yang dibutuhkan sebesar Rp 8 miliar, jumlah uang yang sangat banyak dan tidak seharusnya terbuang.

Berbagai isu yang dilempar oleh pegiat antivaksin antara lain bahwa imunisasi merupakan konspirasi Yahudi. Mereka menyebarkan informasi bahwa imunisasi bertujuan melenyapkan umat. Teori ini berlandaskan asumsi curiga dan kecurigaanya sama sekali tidak rasional. Isu lain yang dilempar adalah bahwa ASI bisa menggantikan imunisasi. Memang sejak lahir bayi sudah membawa perlindungan terhadap beberapa penyakit dari antibodi ibunya (IgG) yang disalurkan melalui plasenta. Bayi yang mendapat ASI juga mendapat tambahan antibodi (IgA) dari ASI. Akan tetapi perlindungan yang didapat bayi tersebut baik dari antibodi ibu atau ASI tidak bisa digunakan untuk melawan semua penyakit dan sifat perlindungannya hanya sementara. IgG ini akan menghilang ketika usia anak mencapai 1 tahun.

Isu Vaksin Haram

Isu lain yang dilempar dan sangat mempengaruhi masyarakat muslim di Indonesia umumnya dan di Aceh khususnya, yaitu tentang haramnya vaksin. Kita perlu tahu bahwa banyak negara muslim yang melaksanakan imunisasi di negaranya. Sampai saat ini tidak pernah terdengar ada ulama di negara muslim yang melarang imunisasi kepada bayi dan anak di negaranya. Contohnya Syaikh Abdul Aziz bin Baz, mufti besar Arab Saudi membolehkan vaksinasi. Dr Yusuf Qardhawi yang berdomisili di Qatar juga membolehkan imunisasi. Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga sudah mengeluarkan fatwa halal terhadap berbagai vaksin yang digunakan saat ini.

Selain itu persoalan yang sering dikaitkan dengan isu haram ini yaitu pemakaian enzim babi dalam pembuatan vaksin. Pembuatan vaksin tidaklah sesederhana yang dipikirkan, bukan seperti membuat obat campuran/puyer di mana semua obat yang ada termasuk enzim babi digerus menjadi satu dan kemudian menjadi vaksin. Enzim tripsin babi itu sebenarnya digunakan sebagai katalisator untuk memecah protein menjadi peptida dan asama amino yang menjadi bahan makanan kuman. Kuman tersebut setelah dibiakkan kemudian difermentasi, diambil polisakarida sebagai antigen bahan pembentuk vaksin.

Selanjutnya dilakukan proses purifikasi yang mencapai pengenceran 1/67,5 milyar sampai akhirnya terbentuk produk vaksin. Jadi pada hasil akhir proses sama sekali tidak terdapat bahan yang mengandung babi. Bahkan antigen vaksin ini sama sekali tidak bersinggungan dengan babi baik secara langsung atau tidak. Hal yang demikian disebut istihalah, yaitu perubahan benda najis atau haram menjadi benda yang suci yang berubah sifat dan namanya. Pada enzim babi tersebut sudah berubah nama dan sifatnya atau bahkan hanya dipakai sebagai katalisator pemisah maka yang menjadi patokan adalah sifat benda tersebut sekarang.

Dalam kenyataannya di lapangan masih ditemui banyak orangtua yang memutuskan tidak mengimunisasi bayi/anaknya karena berbagai alasan di atas. Konseling dari tenaga kesehatan sangat diperlukan untuk mengantisipasi semakin merebaknya isu tersebut. Tugas kami sebagai petugas kesehatan memberikan informasi yang valid, mengedukasi masyarakat. Maka kami sarankan kepada masyarakat supaya dapat mencari informasi yang shahih, bisa berkonsultasi ke petugas kesehatan, dokter spesialis anak.

Bagi yang bisa menggunakan internet bisa mencari informasi seputar imunisasi di website IDAI: www.idai.or.id dan untuk di Facebook bisa bergabung di grup GESAMUN. Apabila tetap memutuskan menolak imunisasi, kami harapkan supaya keputusan tersebut tidak mempengaruhi orang lain di sekitar dan tidak memaksa orang lain mengikutinya. Nah!

Yuk Share Postingan Ini:
Kesmas.ID
Kesmas.ID
Articles: 672

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *