Riri, warga Kecamatan Lindu, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, melahirkan bayi prematur. Namun bayinya meninggal meskipun Puskesmas Lindu memiliki inkubator. Musababnya inkubator tidak dapat difungsikan karena ketiadaan akses listrik di puskesmas.
“Listrik tidak bisa dibangun disana karena secara akses merupakan kawasan hutan lindung. Jalan tidak boleh dibeton, tiang listrik tidak boleh ada,” kata relawan Patungan Listrik Muhammad Asnoer Laagu saat ditemui awal Desember 2018.
Melihat kondisi inilah, alumni Pencerah Nusantara—program yang diadaptasi menjadi Nusantara Sehat oleh Kementerian Kesehatan—yang bertugas di Kecamatan Lindu tergerak melakukan penggalangan dana untuk pembangunan infrastruktur listrik bertenaga surya. Bersama alumni yang ditempatkan di daerah lain, mereka mendirikan komunitas bernama Pelita Khatulistiwa dengan salah satu programnya bernama Patungan Listrik.
Asnoer mengatakan gerakan Patungan Listrik ini tak hanya mengumpulkan dana untuk membiayai solar panel tetapi juga melatih penduduk setempat memelihara peralatan yang diberikan. Cara ini bisa menjadi perbaikan dari program pemerintah yang sering kali memberi bantuan kepada masyarakat namun kurang memperhatikan keberlanjutan.
“Banyak program pemerintah yang baik tapi masyarakat tidak tahu cara memeliharanya sehingga bantuan menjadi terbengkalai. Kami tak ingin terjadi seperti itu,” kata Asnoer.
Alasan pemilihan Puskesmas ialah agar penduduk mempunyai rasa memiliki dan tidak menimbulkan kecemburuan sosial. Puskemas sendiri merupakan layanan kesehatan pertama yang dijangkau oleh masyarakat. Berdasarkan Riset Fasilitas Kesehatan 2011, ada 900-an dari 9.321 Puskesmas yang ada di Indonesia belum dialiri listrik. Padahal kebutuhan listrik menjadi salah satu intrumen mengatasi kesenjangan daerah di Indonesia.
Berjalan sejak 2016, Patungan Listrik sudah menangani empat Puskesmas di daerah tertinggal di Indonesia. Selain di Lindu Sulawesi Tengah, layanan kesehatan lain yang mendapatkan bantuan ialah Puskesmas Karataun Mamuju Sulawesi Barat; Puskesmas Sarina, Kabupaten Malaka, Nusa Tengggara Timur; dan Puskesmas Kelay Berau, Kalimatan Timur.
Menurut relawan Patungan Listrik Siska Verawati, langkah pertama pelaksanaan gerakan Patungan Listrik seleksi fasilitas umum yang akan dibantu. Setelah menemukan lokasi yang benar-benar membutuhkan listrik, feasibility study dan penggalangan dana serta komitmen lokal dilakukan. Saat instalasi pembangkit listrik tenaga surya dipasang, penduduk diberikan pelatihan pengolaaan PLTS.
Setelah dialiri listrik, monitoring dan evaluasi dilakukan setiap enam bulan sekali untuk melihat kondisi di Puskesmas dan mengetahui kendala di lapangan. Proses awal hingga listrik telah terpasang memakan waktu rata-rata tiga bulan. Biaya yang dibutuhkan berkisar Rp 150 juta hingga Rp 200 juta, bergantung pada akses transportasi dan akomodasi masing-masing daerah.
Setelah listrik terpasang, Siska menceritakan perubahan yang terjadi di Puskesmas. Kunjungan pasien menjadi meningkat, kerusakan vaksin menurun karena ada lemari penyimpanan, alat steril bisa dimanfaatkan. Bahkan, masyarakat memanfaatkan Puskesmas untuk kegiatan sosial lainnya seperti rapat dan pertemuan warga.
“Dulu, membantu ibu melahirkan harus pakai senter, sekarang sudah tidak lagi,” ujar Siska.
Bukan Hanya Puskesmas
Meski empat proyek pertama berupa listrik untuk Puskesmas, relawan Gerakan Patungan Listrik Siska Verawati mengatakan program ini juga terbuka untuk fasilitas publik lain seperti sekolah, rumah ibadah, atau fasilitas umum lainnya. Saat gempa di Sigi dan Palu kemarin, Gerakan Patungan Listrik melakukan penggalangan dana sehingga menghasilkan bantuan 15 solar panel.
Proyek yang tengah dikerjakan ialah listrik untuk daerah terpencil di Dusun Bandealit, Desa Andongrejo , Kecamatan Tempurejo, Jember. Kebutuhan listrik di pemukiman sekitar Taman Nasional Meru Betiri ini setelah ada pihak yang menghubungi Gerakan Patungan Listrik di media sosial.
Kedepan, Gerakan Patungan Listrik menargetkan empat proyek di tahun 2019. Mereka berharap banyak donatur tetap yang peduli dengan kebutuhan listrik di pelayanan publik. Seperti proyek di Dusun bandealit yang memanfaatkan dana corporate social responsibility (CSR). Kesempatan menjadi relawan terbuka lebar untuk bergabung mulai dari pendanaan, dokumentasi, teknis lapangan, hingga pengembangan organisasi.
Di Indonesia Development Forum 2018 kemarin, Gerakan Patungan Listrik mendapatkan masukan dari pemerintah maupun sektor privat. Mereka bertemu dengan banyak orang yang bisa diajak kolaborasi ke depan untuk patungan listrik. Dari sektor privat dan aktivis lain, gerakan ini belajar mengenai pendanaan program.
“Kami juga mendengar pendapat dari pemerintah daerah yang hadir di IDF. Kami membuka peluang kalau ada daerah yang belum dialiri listrik dan ingin bekerja sama dengan kami,” ujar Siska.
Indonesia Development Forum merupakan ruang dialog nasional mengenai pembangunan. Diselenggarakan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional dan didukung oleh Pemerintah Australia lewat Knowledge Sector Initiative, IDF mempertemukan para pemimpin dari pemerintahan, masyarakat sipil, akademisi, dan sektor swasta untuk membahas solusi bagi tantangan utama pembangunan di Indonesia.
IDF mendorong pertemuan para pelaku pembangunan mulai dari pemerintahan, masyarakat sipil, akademia, dan sektor swasta untuk membentuk agenda pembangunan Indonesia. Praktik baik seperti Gerakan Patungan Listrik ini perlu dikomunikasikan sehingga menjadi solusi-solusi mengatasi kesenjangan dari pinggiran.
Artikel ini juga terbit di:
https://indonesiadevelopmentforum.com/2018/article/9295-patungan-listrik-untuk-layanan-publik