“Posyandu di sini agak sulit dilakukan di pagi hari Mal, karena sebagian besar masyarakat lagi mantang”, tutur Mas Aris Tri Susilo, Sanitarian sekaligus Team Leader Pencerah Nusantara Muara Enim kala aku berkunjung ke sana untuk melakukan site visit.
Mantang, istilah ini pada awalnya masih asing di telingaku tatkala aku baru saja menginjakkan kaki di Kecamatan Sungai Rotan. Salah satu daerah di Bumi Serasan Sekundang, dimana disana hidup masyarakat dari Marga/Marge Lematang dan Belida/Belide.
Mantang atau bisa disebut “Nyait” atau “begetah” rasa-rasanya tak kan pernah bisa dipisahkan dari metabolisme kehidupan kedua marga/marge ini. Ya, menjadi hal yang lumrah karena mantang ini bisa dibilang jantung kehidupan. Saat jantung ini berhenti berdetak maka tubuh bisa lumpuh bahkan itu pertanda sebuah kematian.
Pun serupa yang terjadi pada masyarakat Sungai Rotan ini. Walaupun sebagian besar wilayah ini disapa oleh anak Sungai Musi, yakni Sungai Lematang, yang pastinya menandakan bahwa menjadi nelayan merupakan salah satu pilihan hidup masyarakat di sana, nyatanya mantang masih menjadi pilihan utama.
Mantang, kegiatan mengelola perkebunan karet, adalah primadona hati masyarakat Sungai Rotan. Ritual wajib masyarakat dari pagi hingga siang hari. Seakan mengamini itu semua, Tuhan pun menurunkan rezeki dari langit ke tujuh melalui mantang ini. Roda perekonomian berputar kencang.
Sehingga, jika kegiatan itu bukanlah merupakan kegiatan yang (mungkin) dapat mengancam hidup mereka ataupun bukan kegiatan yang berkaitan dengan keimanan dan keyakinan mereka, maka jangan harap mantang ini bisa ditinggalkannya.
Salahkah nafas kehidupan yang berhembus seperti ini?
Sebagai seorang praktisi dalam pembangunan kesehatan, haram hukumnya kita menyalahkan kegiatan yang bahkan sudah menjadi tradisi yang membudaya. Menjadi kesalahan besar (menurutku) saat kita memaksakan kegiatan-kegiatan kesehatan di waktu mantang.
Mungkin kita lupa bahwa suatu program intervensi kesehatan tidak hanya berangkat dari pemikiran-pemikiran yang benar menurut kita, namun juga yang terpenting adalah dari keluhuran budaya yang ada di sana.
Maka tak heran, Puskesmas Sukarami menjadwalkan kegiatan posyandu dan kegiatan kesehatan lainnya di siang atau sore hari selepas masyarakat selesai “mantang”. Ini merupakan contoh nyata pelaksanaan kegiatan kesehatan yang berbasis keluhuran budaya.
Sumber Foto:
Dok Pribadi & Dok PN 5 Muara Enim