Edukasi tentang kesehatan reproduksi bagi anak remaja sangat penting. Terlebih untuk anak berkebutuhan khusus. Sama halnya dengan anak-anak remaja normal lainnya, sejak dini edukasi tentang kesehatan reproduksi harus diberikan. Hal ini dilakukan untuk menghindari anak dari kekerasan seksual berbasis gender bagi anak.
Selain orangtua di rumah, sekolah juga menjadi institusi yang tepat untuk menyampaikan pemahaman tentang kesehatan reproduksi pada anak berkebutuhan khusus.
Menurut Country Representative Rutgers WPF Indonesia, Lany Harijanti, sebuah organisasi pusat keahlian dalam kesehatan reproduksi dan pencegahan kekerasan berbasis gender, masih banyak guru atau pengajar yang kurang paham cara menyampaikannya dengan baik.
Beberapa di antaranya, menurut Lany juga masih sungkan membicarakan kesehatan reproduksi karena masih dianggap tabu di masyarakat. Hal ini tentunya menjadi tantangan tersendiri dalam upaya mengurangi kekerasan seksual pada anak, terlebih anak berkebutuhan khusus.
“Biasanya karena yang ditanya malu menjawab gurunya masih belum siap berdiskusi. Biasanya gurunya enggak siap karena banyak berpikir (kesehatan reproduksi) tidak sepantasnya ditanya atau dibicarakan,” ujar Lany kepada VIVA.co.id, di kawasan Kota Tua, Jakarta, Jumat 28 Juli 2017.
Di samping itu, Lany juga mengatakan, bahwa hingga saat ini belum ada materi pendidikan kesehatan reproduksi di Indonesia yang sesuai dengan kebutuhan anak remaja tuna grahita atau keterbelakangan mental.
Menurut Lany, hal yang seringkali ditanyakan terkait dengan kesehatan reproduksi seksual oleh anak berkebutuhan khusus pada dasarnya tak berbeda dengan anak remaja seusianya. Yakni seputar menstruasi, hubungan relasi percintaan, mimpi basah dan lain sebagainya.
“Kami ingin memastikan semua remaja harus mendapat akses yang sama terhadap pendidikan dan layanan kesehatan reproduksi tanpa memandang latar belakang.”
Sumber viva.co.id