Penutupan Lokalisasi, Solusi Atau Masalah Baru?

Jika lokalisasi ditutup akan banyak bermunculan kegiatan prostitusi yang sulit dikontrol dan dikendalikan. Yang paling miris, pastinya bisa mempekerjakan perempuan dibawah umur, yang notabenya sudah dilindungi oleh Undang-undang.

Mangan Gudangan sesi ketiga kembali digelar pada hari Kamis (31/6). Pada kesempatan kali ini, diskusi mengangkat tema “Lika Liku Lokalisasi”.

Mangan gudangan #3 dipimpin oleh Inang Winarso, Direktur Lembaga Pemberdayaan dan Studi Sosial Ekonomi Kerakyatan (LPSSEK). Mas Inang juga pernah menjabat sebagai Asisten Deputi Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) dan Direktur Eksekutif PKBI Pusat.

Diskusi yang dikemas secara santai dan terarah ini berlangsung dengan sangat menarik. Semua peserta bebas mengemukakan pendapat berdasar sudut pandang mereka. Antusiasme juga terlihat dari peserta yang membludag sampai ada yang rela berdiri.

Hadir sebagai peserta perwakilan LSM PKBI, Graha Mitra, Lembaga Bantuan Hukum Apik, KPA, BP3AKB, pengelola dan warga Resos Argorejo (Lokalisasi Sunan Kuning), serta perwakilan akademisi.

Diskusi dimulai dengan pemaparan mengenai sejarah lokalisasi di Indonesia yang jika dilihat dari nilai sejarahnya lokalisasi berbanding lurus dengan berkembangnya infrastruktur pembangunan. Banyak lokalisasi yang terletak di dekat stasiun, pelabuhan, atau pusat pembangunan infrastruktur lainnya.

Berbeda dengan Semarang, lokalisasi menyebar di berbagai tempat dikarenakan pembangunan yang hampir merata. Namun pada tahun 1966 lokalisasi yang terpisah-pisah dikumpulkan menjadi satu yang sekarang disebut Resos Argorejo. “Argorejo sebelumnya hanyalah kampung biasa yang ada diatas bukit. Para Pekerja Seks Komersial (PSK) yang ada disana merupakan pengelompokan dari PSK yang mangkal di daerah Simpang Lima, Telogo Bayem, dan Jagalan” ucap Slamet yang sehari-hari menjadi pengelola Resos.

Di dalam diskusi ini, Mas Inang menawarkan solusi untuk tidak menutup lokalisasi. Karena ia berpendapat, lokalisasi lebih bisa dikontrol dan dikendalikan, dibandingkan harus melakukan kegiatan postitusi secara terselubung. Karena tidak menutup kemungkinan, banyak kegiatan prostitusi di luar lokalisasi yang akhirnya berdampak buruk pada PSK dan penyalurnya.

Ia mengkhawatirkan, jika lokalisasi ditutup akan banyak bermunculan kegiatan prostitusi yang sulit dikontrol dan dikendalikan. Yang paling miris, pastinya bisa mempekerjakan perempuan dibawah umur, yang notabenya sudah dilindungi oleh Undang-undang.

Untuk mencegah penyebaran HIV, dilakukan berbagai edukasi dan penyuluhan. Empat poin populer dari edukasi ini adalah A (Abstinence): Anda jauhi hubungan sex berganti pasangan tanpa kondom, B (Be Faithful): Bersikap saling setia, C (Condom): Cegah dengan kondom, D (Don’t do Drugs): Dihindari narkoba suntik.

Poin tersebut merupakan tingkatan-tingkatan pencegahan. Abstinence ditujukan untuk semua orang yang belum melakukan hubungan seks, agar tidak melakukan seks berisiko. Be Faithful ditujukan untuk pasangan yang sudah seksual aktif atau tidak bisa “puasa seks”. Condom ditujukan untuk pasangan seksual aktif yang tidak bisa setia dengan pasangannya. Jadi sangat salah jika dianggap program pencegahan HIV/AIDS selalu kondom, tapi diawali dengan edukasi terlebih dahulu.

Sering sekali ada pertanyaan, mengapa lokalisasi sulit dihapuskan? Karena pelacuran adalah bisnis yang menguntungkan. Mengapa bisnis pelacuran menguntungkan? Karena pembeli seks lebih banyak dari jumlah penjual seks. Mengapa pembeli seks lebih banyak dari penjual seks? Karena laki-laki yang membeli seks dianggap perbuatan yang wajar. Mengapa laku-laki membeli seks dianggap perbuatan yang wajar? Karena norma sosial yang dominan berasal dari budaya patriarki.

Untuk menghapus lokalisasi bisa dengan cara membuat bisnis tersebut tutup. Salah satunya adalah dengan membuat usulan kebijakan. “Pembeli seks harus dipidana, pelacur adalah korban” tutur Inang.

Dari sisi Kesehatan Masyarakat upaya yang dapat dilakukan dapat melalui pendekatan advokasi, galang opini publik, serta gerakan pengorganisasian dan pemberdayaan masyarakat. Kegiatan advokasi seperti yang sudah ditulis diatas dengan membuat kebijakan atau peraturan hukum. Galang opini publik dilakukan dengan cara merubah nilai dan opini bahwa pembeli seks melanggar norma sosial sehingga sanksi sosial juga perlu diterapkan.

Selama ini stigma hanya menempel pada PSK saja namun tidak pada pembeli seksnya. Kemudian untuk program pengorganisasian dan pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan dengan upaya pemberian edukasi kepada PSK, pemberian bekal ketrampilan hidup (life skill), lawan traficking dengan gerakan lindungi anak dan remaja di desa (terutama daerah asal pelacur), serta pendidikan setinggi-tingginya bagi penduduk desa dan miskin kota.

Yuk Share Postingan Ini:
Efa Nugroho
Efa Nugroho

Dosen Promkes UNNES

Articles: 4

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *