Setiap anak berhak untuk hidup sehat. Kesehatan merupakan modal utama untuk mencetak generasi anak Indonesia yang cemerlang di masa depan. Jika kesehatan anak tak menjadi prioritas, maka jangan berharap, di masa yang akan datang negeri ini akan tampak terang benderang.
Dari tahun ke tahun kualitas kesehatan anak masih memprihatinkan. Hal ini ditandai berdasarkan Pemantauan Status Gizi 2015-2016, di mana hanya 2 dari 34 provinsi yang secara indikator dianggap baik. Alih-alih riang dan gembira, kasus gizi buruk seperti stunting masih mencemaskan dan mengahantui dihampir seluruh kehidupan anak Indonesia.
Selain itu, menyebarnya kabar tak benar (hoax) tentang penggunaan imunisasi, membuat para orang tua enggan membawa anaknya ke posyandu untuk diberi perlindungan. Imunisasi dianggap haram dan tak boleh dilakukan. Maka, angka kejadian difteri dan campak pun akibatnya meningkat. Penyakit yang harusnya bisa dicegah kemudian muncul dengan efek buruk yang merepotkan. Padahal vaksinasi itu hak bagi setiap anak.
Kita bisa sedikit lega, meski harus tetap siaga. Rapat Kerja Kesehatan Nasional (Rakerkesnas) yang digelar Kementrian Kesehatan pada Maret 2018, tanggap dengan isu terkini kesehatan nasional. Rapat mengangkat tema “Sinergisme Pusat dan Daerah dalam Mewujudkan Universal Health Coverage melalui Percepatan Eliminasi Tuberculosis, Penurunan Stunting, dan Peningkatan Cakupan serta Mutu Imunisasi.”. Pemerintah tampak serius untuk membuat anak Indonesia bisa jauh dari penyakit yang bikin sengsara.
Upaya menyelesaikan permasalahan kesehatan yang merugikan anak-anak, tak bisa dilakukan dengan hanya mengharapkan kerja keras satu profesi kesehatan semata. Katakanlah, kita tak bisa mengharapkan dokter atau perawat saja, untuk melulu memberikan pengobatan dan perawatan terhadap anak-anak yang sedang sakit. Kita butuh berkolaborasi. Kita perlu tenaga kesehatan yang lain untuk bersama-sama menuntaskan penyakit yang mendera anak-anak. Kita butuh tenaga kesehatan yang ahli di bidang perencanaan program kesehatan agar bisa tepat sasaran. Kita butuh ahli surveilans, promotor kesehatan, dan tenaga kesehatan yang lain agar segala persoalan yang merugikan kesehatan bisa segera di bumi hanguskan.
Kolaborasi antar tenaga kesehatan (interprofessional health collaboration) perlu dimaksimalkan. Kolaborasi itu menitik beratkan pada proses yang berlangsung terus-menerus. Sehingga sebuah penyakit atau persoalan kesehatan tidak lagi dilihat sebagai sebuah akibat semata. Di titik ini, kita sadar bahwa penyakit juga berawal dari keberlangsungan proses yang bermasalah.
Kesehatan (anak) itu perlu di pandang secara sistemik, seperti sebuah sistem besar yang di dalamnya terdapat sistem-sistem kecil yang saling mempengaruhi. Jika ada suatu permasalahan dalam sebuah sistem, maka sistem yang lain mesti ikut untuk bahu-membahu untuk mengembalikan keseimbangan sistem. Fritjof Capra, dalam bukunya Titik Balik Peradaban (2007), memberikan pandangannya terkait kesehatan yang bersifat multidimesional. Kesehatan, bagi Capra, melibatkan aspek-aspek fisik, psikologis, dansosial yang saling tergantung dalam sebuah sistem.
Stunting, misalnya, yang merujuk pada tubuh pendek karena kekurangan gizi, memiliki sebab yang kompleks. Ia meliputi banyak dimensi kehidupan. Kesenjangan ekonomi, pengetahuan yang rendah, tidak tersedianya pangan bermutu, akses informasi dan transportasi yang buruk, serta kondisi lingkungan yang tak sehat akibat tercemar, menjadi faktor penyebab yang saling memperkuat sehingga terjadinya penyakit. Dengan demikian, kita memahami bahwa persoalan kesehatan yang selama ini mengancam anak-anak, bukan semata tanggung jawab satu prosesi saja. Kesehatan itu tanggung jawab kita bersama.
Masa Depan Anak
Masa depan bangsa berada di tangan anak-anak. Sayangnya, hari ini mereka harus berjibaku berhadapan dengan pelbagai ancaman kesehatan. Anak-anak Indonesia berhak bergembira. Mereka tak semestinya berada di rumah, terbaring sakit dengan kondisi memprihatinkan. Anak-anak itu ditakdirkan untuk bermain dan bersenang-senang. Kita semua dituntut untuk peduli terhadap keceriaan mereka yang tercuri oleh stunting, campak, dan difteri. Mereka berhak mendapatkan kehidupan yang layak dan sehat. Tentu saja, sebagai orang dewasa, kita memikul tanggung jawab sebagai tameng untuk memberikan perlindungan kepada mereka. Anakku, anakmu, maupun anak tetangga, ialah juga anak-anak bangsa Indonesia.
Kolaborasi antar tenaga kesehatan dan kerjasama lintas sektor merupakan strategi yang harus digalakan untuk memerangi ancaman terhadap anak-anak. Peran negara di sini menjadi penting. Negara harus bisa memastikan bahwa hal-hal buruk tak lagi mengganggu kesehatan dan tumbuh kembang. Maka, di Hari Anak Nasional ini, kita perlu merefleksikan segala hal demi memperjuangkan masa depan (anak) Indonesia yang lebih baik.