Beberapa waktu lalu kita sama-sama dihebohkan dengan pernikahan anak reaja yang belum genap 17 tahun di Bantaeng Sulawesi Selatan.
Tapi, realitanya, banyak kasus barangkali yang tidak diekspose media juga terjadi disekitar kita, salah satunya di wilayah kerja saya.
Perkara pernikahan anak memang hal yang lumrah terjadi di Indonesia. United Nations Children’s Fund (UNICEF) menyatakan bahwa angka prevalansi pernikahan anak di Indonesia masih tergolong tinggi. Menurut dua Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) sejak tahun 2008 hingga 2015, angka prevalansi pernikahan anak stagnan dan tidak mengalami pergeseran.
Pada tahun 2012 tercatat 1.348.886 anak perempuan Indonesia menikah sebelum berusia 18 tahun, artinya menurut UNICEF ada sekitar 375 anak perempuan yang belum genap 18 tahun menikah setiap harinya.
Data yang dihimpun Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) selama tahun 2016 diketahui di Pulau Sumatera ada 92 anak perempuan di Indonesia yang menikah sebelum berumur 18 tahun, Pulau Jawa ada 72 anak, Pulau Kalimantan 10 anak, dan Pulau Sulawesi ada 8 anak. Sedangkan di Pulau Bali, Nusa Tenggara, dan Maluku ada 21 anak yang menikah dibawah umur dan ada 5 anak di Papua. Sehingga berdasarkan data KPAI selama 2016, total anak perempuan yang menikah sebelum berumur 18 tahun adalah 203 anak.
Setidaknya Ada 5 Resiko Pernikahan Dini Untuk Anak:
- Fase perkembangan Anak Perempuan
Fase perkembangan fisik, emosional, kognitif dan sosial. - Lebih rentan terhadap kekerasan dan perceraian
Tidak punya kekuasaan untuk menolak kekerasan yang terjadi pada dirinya dan sulit menyelesaikan permasalahan rumah tangga. - Pada perekonomian negara
Perkawinan usia anak mempengaruhi pendapatan negara sampai dengan 1,70 % pertahun. - Secara kesehatan, reproduksi anak perempuan belum siap
Cenderung beresiko komplikasi janin, komplikasi persalinan dan kematian lebih tinggi dibandingkan kehamilan di usia ideal. - Hak-hak yang terhenti
Perkawinan usia anak memutus hak anak perempuan mendapat pendidikan dan akses kesehatan.