1 Juni menjadi hari yang bersejarah bagi Indonesia sebagai sebuah bangsa. Pancasila yang hingga kini disepakati sebagai kristalisasi nilai luhur Bangsa Indonesia lahir, sehingga 1 Juni diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila.
Menyaksikan kondisi bangsa ini yang semakin jauh dari nilai luhur Pancasila adalah sebuah ironi. Serangkaian aksi terorisme yang terjadi belakangan, penyerangan terhadap tokoh agama, maraknya ujaran kebencian, sampai hoax yang tiada henti adalah tindakan yang jelas mencederai nilai luhur Pancasila. Masyarakat Indonesia yang fitrahnya lahir dalam kebhinekaan, kini justru terancam tumbuh dalam “segregasi”.
Kecemasan dan ketakutan yang ditimbulkan karena berbagai aksi teror tentu mengganggu kesehatan jiwa masyarakat. Tidak hanya korban, tetapi juga masyarakat luas yang terpapar pemberitaan. Patut diduga bahwa terorisme mungkin saja hanya bagian kecil dari fenomena gunung es yang nampak di permukaan dari begitu banyak masalah kesehatan jiwa yang sebenarnya dialami masyarakat Indonesia.
Terganggunya kesehatan jiwa telah diketahui bersama sebagai akibat dari maraknya aksi teror, namun jangan lupa bahwa gangguan jiwa juga ditengarai menjadi salah satu penyebab dari tumbuh suburnya terorisme. Orang yang terlibat aksi teror bisa dikatakan “sakit” karena tidak memenuhi unsur yang seharusnya dimiliki oleh orang sehat, yaitu sehat mental, sosial, dan spiritual selain sehat secara fisik dan finansial tentunya.
Pada 2016, konsorsium nasional START (Study of Terrorism and Responses to Terrorism) dari University of Maryland USA merilis sebuah studi bahwa terorisme melibatkan proses psiko-sosial yang kompleks. Gangguan jiwa berkontribusi pada terorisme ketika terakumulasi dengan sejumlah faktor lain, seperti trauma emosional, penyalahgunaan zat tertentu, dan narasi ekstrimis. Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa orang yang memiliki riwayat gangguan jiwa lebih mungkin berlaku kasar. Hubungan antara gangguan jiwa dan perilaku kekerasan terbukti signifikan pada berbagai preferensi ideologis.
Hubungan yang signifikan tersebut bertentangan dengan studi sebelumnya yang menunjukkan bahwa sebagian besar teroris normal secara psikologis. Pemimpin kelompok teroris terdahulu masih menekankan pentingnya pengetahuan ideologis dan agama, juga berbagai keterampilan khusus seperti bertempur, logistik, dan propaganda.
Oleh sebab itu, kelompok teroris terdahulu justru tidak tertarik untuk merekrut individu yang jiwanya tidak stabil karena dianggap tidak bisa diandalkan dan dikontrol. Namun kini preferensi tersebut berubah. Kelompok teroris masa kini tampaknya sudah tidak peduli apakah pengikutnya sehat jiwa atau tidak, sehingga bisa disaksikan bahwa aksi teror yang ditebar kini jauh lebih membabibuta dan bisa menimpa siapa saja. Bahkan, studi lain juga mengemukakan bahwa pelaku tunggal dalam aksi teror lebih cenderung menunjukkan tanda gangguan jiwa daripada pelaku yang berafiliasi dengan kelompok tertentu.
Berbagai indikasi yang ditemukan tidak terbatas pada gangguan yang terdiagnosis secara klinis saja. Dalam banyak kasus, terorisme dapat dipahami lebih baik dari sisi pengalaman emosional dan pribadi yang traumatis, termasuk rasa ketidakadilan, kemarahan, balas dendam, bahkan cinta bisa berpotensi mendorong seseorang terjerat terorisme (James & Pisoiu, 2016).
Sisi lain tersebut yang seringkali tidak terlihat kasat mata, sehingga orang yang terlihat normal dan baik-baik saja pun, bisa terjerumus dalam pusaran terorisme. Menurut Prof. Marta Crenshaw dari Stanford University, masa dimana seseorang mengalami gangguan jiwa ini yang disebut sebagai “blip”. Seseorang yang sepertinya hidup normal, ternyata bisa menjadi “pengantin” dalam serangkaian aksi teror.
Upaya kuratif dan rehabilitatif seperti pembentukan trauma center memang sangat diperlukan untuk memulihkan kesehatan jiwa orang yang terdampak aksi teror. Stres pasca trauma atau Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) akibat aksi teror memang harus segera ditangani, karena jika tidak, trauma berkepanjangan bisa menjadi bibit terorisme baru yang bisa jadi akan meledak di masa depan. Tetapi tentu saja, upaya tersebut harus diiringi dengan langkah strategis dan jangka panjang untuk mencegah tumbuh serta berkembangnya terorisme melalui upaya promotif dan preventif yang komprehensif dengan melibatkan kolaborasi berbagai pihak lintas sektoral, termasuk profesional kesehatan masyarakat.
Tidak dapat lagi dipungkiri bahwa masalah kesehatan jiwa, termasuk terorisme adalah tantangan baru bagi dunia kesehatan masyarakat di samping masalah penyakit menular (communicable disease) dan penyakit degeneratif (non-communicable disease). Jika dunia telah mengangkat kesehatan jiwa sebagai isu global, maka Indonesia pun sudah seharusnya menjadikan kesehatan jiwa sebagai isu sentral pembangunan kesehatan. Pemerintah bisa memulainya dengan memotret fakta epidemiologis tentang kondisi kesehatan jiwa di Indonesia melalui riset yang komprehensif. Informasi yang komprehensif tersebut akan memuluskan upaya untuk merancang program dan mengalokasikan anggaran yang proporsional dan tepat sasaran.
Fase perkembangan terorisme yang dimulai dari fase empati, menembus dinding emosi, brainwash, hingga penugasan harus dilawan dengan pencegahan sejak dini di fase empati dan emosi. Karena jika fase itu terlewat, akan sangat sulit mengubah pemikiran seseorang. Maka, pendekatan untuk mencegah tumbuh suburnya terorisme juga harus melibatkan empati dan emosi.
Kata kuncinya adalah: jangan sampai mengabaikan (ignore) seseorang yang sedang mengalami masa sulit dalam hidupnya. Mengingat bahwa pelaku serangkaian aksi teror yang mencengangkan beberapa waktu lalu melibatkan keluarga, termasuk anak-anak, maka harus diupayakan dukungan kesehatan jiwa berbasis keluarga dan komunitas. Pencegahan dari orang terdekat akan jauh lebih baik daripada mengandalkan orang lain. Keluarga atau teman dekat harus menjadi tempat perlindungan paling aman (safe heaven).
Selain itu, pendidikan kesehatan sejak dini perlu dikembangkan dengan formula yang lebih relevan dengan tantangan kekinian. Pendidikan PHBS dan kesehatan jiwa melalui UKS seharusnya bisa diintegrasikan dengan pembinaan ideologi Pancasila dan wawasan kebangsaan disertai surveilans berkala oleh guru dan orang tua.
Sebagai Bangsa Indonesia, trilogi filosofi Ki Hajar Dewantara, yaitu ing ngarso sung tulodho (di depan memberi contoh), ing madyo mangun karso (di tengah memberi semangat), dan tut wuri handayani (di belakang mendorong atau memotivasi) adalah pendekatan kultural sesuai kearifan lokal yang seharusnya bisa diterapkan dalam pendidikan kesehatan sejak dini, terutama di sekolah sebagai institusi pendidikan formal.
Sudah saatnya sektor kesehatan masyarakat ikut aktif mengambil peran dalam penanggulangan terorisme dengan memperbaiki kesehatan jiwa bangsa ini. Sesungguhnya banyak program terkait kesehatan jiwa yang dapat dikembangkan untuk merespon ancaman serius yang kini muncul.
Prinsip policy development dan program improvement perlu dikedepankan, sehingga tidak selalu ancaman baru mengharuskan adanya program baru, tetapi yang terpenting adalah mengembangkan apa yang sudah ada agar sesuai dengan tantangan kekinian. Program deteksi dini kesehatan jiwa yang selama ini dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan seharusnya mulai menambahkan formula untuk mendeteksi kecenderungan seseorang akan pemahaman tertentu yang berpotensi merugikan kesehatannya dan orang lain.
Jika pun dibutuhkan inovasi, perlu dipelajari beberapa best practices yang telah dilakukan oleh sektor kesehatan dalam upaya penanggulangan terorisme, baik di dalam muapun luar negeri. Di level global, diplomasi kesehatan masyarakat juga diperlukan untuk meminimalisir kondisi sosial yang memungkinkan berkembangnya terorisme.
Investasi dalam layanan kesehatan jiwa adalah salah satu bentuk peran sektor kesehatan masyarakat untuk terlibat memberantas terorisme. Diperlukan upaya yang holistik dan komprehensif dengan melibatkan kolaborasi berbagai pihak dalam upaya menanggulangi terorisme dan menegakkan kembali nilai luhur Pancasila.
Begitupun juga meluruskan bahwa nilai luhur Pancasila selaras dengan nilai agama dan kemanusiaan. Komitmen politik pemerintah diiringi oleh aksi nyata semua komponen bangsa harus menjadi sinergi untuk mengembalikan masyarakat Indonesia yang sehat seutuhnya, yaitu sehat secara fisik, mental, sosial, spiritual, bahkan finansial.
Hari lahir Pancasila yang bertepatan dengan bulan suci Ramadhan ini harus menjadi momentum untuk bangkit sebagai bangsa yang sehat jiwa dan bhineka.