Kita dibuat geram oleh teroris. Setelah peristiwa di Mako Brimob, bom bunuh diri diledakkan di Surabaya, di tiga titik gereja berbeda, korban berjatuhan, ada yang luka-luka, ada pula yang hilang nyawa.
Aksi teror tak hanya melahap korban secara fisik. Ada yang depresi, stres, dan dihinggapi kecemasan yang akut. Korban teror yang selamat, saksi mata, atau orang-orang yang menyaksikan berita tentang kejahatan terorisme, besar potensinya mengalami sebuah gangguan kesehatan mental.
Jika ketakutan terkait persoalan lingkungan yang buruk, kepadatan penduduk, dan perubahan iklim yang ekstrim bisa membuat seseorang terserang stres berekepanjangan, apalagi dengan terorisme. Kita jadi ngeri. Aksi teror sengaja dilakukan untuk menebar ketakutan. Target dan tujuan teror bukan semata untuk meruntuhkan gedung, rumah ibadah atau markas aparat.
Teror dipraktikkan untuk menyuntikkan perasaan tidak aman kepada masyarakat. Dengan ketakutan, orang-orang akan mudah di atur. Dengan timbulnya perasaan terancam, orang-orang pada hakikatnya menjadi tak merdeka atas dirinya sendiri. Akibat teror, kita jadi mudah curiga dengan orang lain. Dan kepercayaan, sebagai basis solidaritas sosial, jadi kian menurun.
Efek traumatik yang ditimbulkan terorisme tak mudah diobati. Pertunjukan kekerasan yang mengerikan memberi bekas yang susah dihilangkan. Orang-orang berisiko besar mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), gangguan stress pasca trauma. Belum lagi, akibat stres berat penyakit lain bisa bermunculan, sebut saja hipertensi atau diabetes. Para korban yang tak berdosa, yang kehilangan anggota keluarganya misalnya, pasti akan mengalami penurunan status kesehatan mental, juga fisiknya.
Menteri Kesehatan RI, Nila Moeloek, pada suatu kesempatan mengingatkan betapa pentingnya menjaga kesehatan mental. “Tiada kesehatan tanpa adanya kesehatan jiwa”, ujarnya.
Publikasi Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, bahwa diantara satu dari empat orang mengidap gangguan kesehatan mental. Faktornya bisa datang dari mana saja. Satu hal yang paling berpengaruh ialah stres berkepanjangan.
Pengelolaan stres yang buruk itu berbahaya. Menurut WHO pada 2012, sebanyak 804.000 kematian di dunia disebabkan oleh bunuh diri setiap tahunnya. Dan kita sudah bisa menebak jika sebabnya tak lain ialah persoalan stres dan kecemasan; persoalan kesehatan mental.
Berkaitan itu, terorisme mesti kita amati dalam kaitannya dengan penyakit psikososial. Teroris itu tak sehat secara mental. Akalnya sakit. Pikirannya dipenuhi kebencian dan amarah.Sehingga apa yang dia lakukan berpamrih untuk merugikan orang lain; mencelakai, merusak, bahkan membunuh.
Jika aksi terorisme menyebabkan meningkatnya tingkat stres dan kecemasan, maka hal itu wajib kita masukkan ke dalam daftar masalah pembangunan kesehatan masyarakat. Faktanya, teror juga memakan korban jiwa dan luka-luka, termasuk korban kecemasan secara psikologis. Ini artinya, secara sederhana, dalam bahasa ilmu kesehatan, aksi-aksi terorisme telah mempengaruhi meningkatnya angka kesakitan dan angka kematian. Dan hal itu, sebagai mahasiswa, dosen atau praktisi kesehatan, tak bisa kita diamkan begitu saja.
Teror harus kita respon. Ada peran yang harus kita ambil sebagai orang yang terlibat dalam usaha peningkatan kesehatan masyarakat. Terorisme tak bisa diselesaikan tanpa kolaborasi. Malala Yousafzai, peraih nobel perdamaian berkata, “Dengan senjata kamu bisa membunuh teroris, dengan pendidikan kamu bisa membunuh terorisme”.
Apa yang dikatakan Malala bersinggungan dengan persoalan pendidikan. Terorisme bermula pada pendidikan yang salah. Teroris biasanya direkrut dari orang-orang yang tak memiliki pondasi berfikir dan pengetahuan yang kuat. Pelaku teror diberikan imajinasi tentang sebuah ekstase (kenikmatan) ketika berhasil melakukan aksi kekerasan. Dan atas dorongan itu terciptalah bom bunuh diri atau semacamnya.Pelaku teror, sederhananya, telah dicuci otaknya.
Pendidikan yang salah harus dilawan dengan pendidikan yang benar dan manusiawi. Teroris itu tidak dididik. Mereka diindoktrinasi. Peran serta seorang aktivis kesehatan masyarakat ialah memberikan penegasan bahwa terorisme ialah penyakit sosial yang harus dicegah penyebarannya dan dimusnahkan keberadaanya.
Tak ada ajaran agama atau ajaran apapun yang mengajarkan terorisme. Dalam persfektif kesehatan, perlawanan terhadap terorisme dilakukan sebagai usaha mengurangi angka kesakitan dan kematian, serta sebagai ikhtiar membantu pembangunan kesehatan di masyarakat.
Masyarakat Indonesia sudah berkarib dengan ancaman penyakit degeneratif yang mengerikan. Kerusakan lingkungan yang semakin parah, pola hidup yang tak sehat, dan kekurangan pasokan pangan di beberapa daerah, telah banyak membuat saudara kita kehilangan kesempatan hidup dengan layak. Kita pun tak ingin jika ancaman penyakit itu ditambah dengan kecemasan terkait dampak buruk dari aksi-aksi terorisme.
Jika lingkungan kita rusak, kita bisa berpindah tempat atau merevitalisasi dengan melakukan penghijauan kembali. Untuk hal itu, kita masih bisa mengendalikannya. Akan tetapi, bagaimana dengan kejadian teror yang tak bisa kita kendalikan kemunculannya.
Kita perlu membuka mata. Semua orang bisa menjadi korban dari kebiadaban aksi kekerasan. Teroris memilih korban secara acak, tak mengenal waktu dan tempat. Oleh karena itu, sudah saatnya untuk seluruh aktivis kesehatan juga bergerak melawan terorisme.
Masalah kesehatan tak hanya tentang penyakit atau pelayanan kesehatan yang buruk. Persoalan kesehatan hari ini, perlu kita ketahui, juga berkait-kelindan dengan persoalan kehidupan; akal sehat dan kemanusiaan.
Mario Hikmat, aktivis LISAN, Mahasiswa Kesehatan Masyarakat UNHAS.