Bulan Ramadan merupakan bulan yang penuh berkah bagi umat Muslim. Tak terasa, sebentar lagi hari kemenangan yang ditunggu-tunggu pun akan segera tiba. Tradisi-tradisi kultural di Indonesia menjelang lebaran pun turut menyemarakan Hari Raya Idul Fitri ini seperti persiapan menjelang musim mudik, berbelanja keperluan lebaran, dan juga para pekerja menerima Tunjangan Hari Raya (THR) untuk menyiapkan segala keperluan di hari besar nanti.
Jika kita merujuk kepada peraturan Kementrian Ketenagakerjaan, istilah THR adalah pendapatan pekerja yang wajib dibayarkan oleh Pengusaha kepada pekerja atau keluarganya menjelang Hari Raya Keagamaan, yang berupa uang atau bentuk lain. Baik itu hari raya lebaran, hari raya natal, atau hari raya keagamaan lainnya.
Fenomena THR selalu menjadi pembahasan yang menarik setiap tahunnya. Mulai dari kantor-kantor pemerintahan, sampai kuli panggul di pelabuhan, semua membicarakannya. Tunjangan Hari Raya ini ibarat kado spesial yang dinanti setiap tahun oleh pekerja/pegawai dari atasannya. Berkat adanya THR mereka bisa sedikit tersenyum menanti datangnya hari raya.
Pertama kali THR muncul pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, tepatnya di era Kabinet Soekiman Wirjosandjojo. Kabinet yang dilantik pada April 1951 tersebut memiliki program kerja yang salah satunya meningkatkan kesejahteraan Pamong Pradja, yang kini disebut Pegawai Negeri Sipil.
Selain memberikan tunjangan dalam bentuk uang, pada kabinet Soekiman ini juga memberikan tunjangan lain dalam bentuk beras. Kebijakan tunjangan yang diperuntukan bagi PNS itu pada gilirannya mendapat gelombang protes dari kaum buruh. Mereka meminta agar nasib mereka juga diperhatikan oleh pemerintah. Karena hanya memberikan tunjangan kepada para pamong praja atau pegawai pemerintah. Dimana pada saat itu aparatur pemerintah Indonesia masih diisi oleh para kaum priyayi, ningrat dan kalangan atas lainnya.
Bagi para buruh, hal itu dirasa tak adil karena mereka bekerja keras bagi perusahaan-perusahaan swasta dan milik Negara, namun mereka tidak mendapatkan perhatian apa pun dari pemerintah. Namun kebijakan tunjangan dari Kabinet Soekiman akhirnya menjadi titik tolak bagi pemerintah untuk menjadikannya sebagai anggaran rutin Negara.
Pada tahun 1994 pemerintah secara resmi mengatur perihal THR secara khusus. Peraturan mengenai THR ini dituangkan didalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja R.I No. 04/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan yang menjelaskan bahwa pengusaha wajib memberikan THR kepada para pekerja yang telah bekerja selama tiga bulan secara terus menerus atau lebih.
Adapun besaran THR yang diterima itu disesuaikan dengan masa kerjanya. Pekerja yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih menerima sebesar satu bulan gaji. Sementara pekerja yang mempunyai masa kerja tiga bulan secara terus menerus, tetapi kurang dari 12 bulan diberikan secara proporsional dengan masa kerjanya, yakni dengan perhitungan masa kerja/12 x 1(satu) bulan gaji.
Di tahun 2016, pemerintah melalui Kementrian Ketenagakerjaan, merevisi peraturan mengenai THR. Perubahan ini tertuang dalam peraturan menteri ketenagakerjaan No.6/2016 yang menyebutkan bahwa pekerja yang memiliki masa kerja minimal satu bulan sudah berhak mendapatkan Tunjangan Hari Raya. Selain itu kewajiban pengusaha untuk memberi THR tidak hanya diperuntukan bagi karyawan tetap, melainkan juga untuk pegawai kontrak. Termasuk yang bekerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) maupun perjanjian kerja waktu tertentu, (PKWT).
Arti sehat didalam kehidupan sehari-hari kerap digunakan untuk menyebutkan bahwa suatu hal bisa bekerja dengan normal. Apalagi benda mati lalu layaknya kendaraan bermotor atau mesin, bila bisa berperan dengan normal, maka kerapkali oleh pemiliknya dikatakan bahwa kendaraannya didalam situasi sehat. Umumnya orang menyebutkan sehat bila badannya jadi fresh serta nyaman. Apalagi seorang dokterpun dapat menyebutkan pasiennya sehat pada saat menurut hasil kontrol yang dikerjakannya memperoleh semua tubuh pasien berperan dengan normal. .
Pada tahun 50-an, World Health Organization (WHO ) mendefinisikan sehat sebagai keadaan sehat sejahtera fisik, mental, sosial, dan bukan hanya bebas dari penyakit atau kelemahan “Health is a state of complete physical, mental, and social well being and not merely the absence of disease or infirmity”.
Pada tahun 80-an, definisi sehat menurut WHO mengalami perubahan seperti yang tertera dalam Undang – Undang Kesehatan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992, yaitu : “Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis”.
Menurut WHO (1947) Sehat itu sendiri dapat diartikan bahwa suatu keadaan yang sempurna baik secara fisik, mental dan sosial serta tidak hanya bebas dari penyakit atau kelemahan. Definisi WHO tentang sehat mempunyai karakteristik berikut yang dapat meningkatkan konsep sehat yang positif (Edelman dan Mandle, 1994): memperhatikan individu sebagai sebuah sistem yang menyeluruh, memandang sehat dengan mengidentifikasi lingkungan internal dan eksternal serta penghargaan terhadap pentingnya peran individu dalam hidup.
Ada tiga komponen penting yang merupakan satu kesatuan dalam konsep definisi sehat WHO yaitu :
1. Sehat Jasmani
Sehat jasmani merupakan komponen penting dalam arti sehat seutuhnya, berupa sosok manusia yang berpenampilan kulit bersih, mata bersinar, rambut tersisir rapi, berpakaina rapi, berotot, tidak geuk, nafas tidak bau, selera makan baik dan seluruh fungsi fisiologi tubuh berjalan dengan normal.
2. Sehat Mental
Sehat Mental dan sehat jasmani selalu dihubungkan satu sama lain dalam pepatah kuno “Jiwa yang sehat terdapat di dalam tubuh yang sehat “(Men Sana In Corpore Sano)”. Atribut seorang insan yang memiliki mental yang sehat adalah selalu merasa puas dengan apa yang ada pada dirinya, tidak pernah menyesal dan kasihan terhadap dirinya, selalu gembira, santai dan menyenangkan serta tidak ada tanda-tanda konflik kejiwaan, dan dapat bergaul dengan baik dan dapat menerima kritik serta tidak mudah tersinggung dan marah, selalu pengertian dan toleransi terhadap kebutuhan emosi orang lain, serta mampu mengontrol diri dan tidak mudah emosi serta tidak mudah takut, cemburu, benci serta menghadapi dan dapat menyelesaikan masalah secara cerdik dan bijaksana.
3. Kesejahteraan Sosial
Batasan kesejahteraan sosial yang ada di setiap tempat atau negara sulit diukur dan sangat tergantung pada kultur, kebudayaan dan tingkat kemakmuran masyarakat setempat. Dalam arti yang lebih hakiki, kesejahteraan sosial adalah suasana kehidupan berupa perasaan aman damai dan sejahtera, cukup pangan, sandang dan papan. Dalam kehidupan masyarakat yang sejahtera, masyarakat hidup tertib dan selalu menghargai kepentingan orang lain serta masyarakat umum.
- Sehat Spiritual
Spiritual merupakan komponen tambahan pada definisi sehat oleh WHO dan memiliki arti penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Setiap individu perlu mendapat pendidikan formal maupun informal, kesempatan untuk berlibur, mendengar alunan lagu dan musik, siraman rohani seperti ceramah agama dan lainnya agar terjadi keseimbangan jiwa yang dkeseimbangan jiwa yang dinamis dan tidak monoton.
Dengan demikian adanya tunjangan hari raya merupakan salah satu faktor yang menjadi komponen dari sehat secara sosial maupun ekonomi, dimana dengan adanya tunjangan tersebut semua pekerja baik swasta maupun pemerintah bisa menambah pendapatan secara finamsial, bisa merasakan sehat secara jasmani karena ada rasa senang yang dirasakan dan mental yang sehat karena tidak lagi merasa bingung dalam mencari tambahan penghasilan untuk persiapan mudik ataupun keperluan rumah tangga untuk menyambut hari raya. Dimana kesehatan yang positif adalah suatu kondisi dimana sejahtera secara jasmani, rohani serta sosial ekonomi.
Semoga segala tunjangan hari raya dalam bentuk dan jenis apapun yang kita terima pada tahun ini bisa bermanfaat untuk kita semua, menjadikan kita sehat secara lahir maupun batin.