Perhatian negara terhadap pembangunan kesehatan belum sebesar perhatian pada pembangunan sektor lainnya. Pernyataan tersebut muncul dari fakta nyata yang ada, salah satunya adalah kecilnya angka anggaran kesehatan. Dari APBN, baru tahun 2016 kemarin anggaran kesehatan memenuhi amanat undang-undang, yakni sebesar 5%. Hal tersebut tergolong kecil jika dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Thailand. Padahal jika pemerintah berkomitmen serius pada pembangunan bidang kesehatan, bidang lain pun akan ikut terbangun karena kesehatan memiliki imbas lintas sektoral.
Problematika
Nasib kesehatan di Indonesia jadi lebih memprihatinkan dengan terbentuknya paradigma “mencegah tidak lebih baik dari mengobati”. Sesat pikir tersebut kerap pula terjadi pada pemangku kepentingan karena kecenderungan melihat pada hal-hal yang nampak oleh mata dan bisa dirasakan langsung dampaknya. Banyak yang belum tertarik dengan investasi jangka panjang yang bisa berpengaruh besar bagi bangsa, yakni investasi kesehatan.Berinvestasi kesehatan dapat dilakukan melalui upaya kesehatan masyarakat (UKM). Kegiatan UKM menggunakan pendekatan promotif—preventif, contohnya: kegiatan imunisasi, deteksi dini penyakit, peningkatan gizi, dan promosi perilaku hidup bersih dan sehat. Pada sisi lain, upaya kesehatan perorangan (UKP) yang pendekatannya adalah kuratif (penyembuhan) dan rehabilitatif jauh lebih diperhatikan karena dapat dilihat dan dirasakan dampaknya secara langsung, misal orang yang sakit menjadi sembuh. UKM dan UKP tidak bisa dipandang secara parsial, keduanya merupakan kesatuan upaya kesehatan yang harus diperhatikan dan diperlakukan secara adil. Namun kenyataannya, paradigma tadi mendorong tendensi pengambil kebijakan untuk lebih ke arah UKP.
Pertengahan November ini, UKM kembali terzalimi dengan kehadiran peraturan baru yakni Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (PMK RI) Nomor 53 Tahun 2017 yang memuat perubahan terhadap PMK RI Nomor 40 Tahun 2016 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Pajak Rokok untuk Pendanaan Pelayanan Kesehatan Masyarakat. Pajak rokok merupakan pungutan atas cukai rokok sedangkan cukai merupakan pungutan negara atas barang kena cukai, termasuk rokok (produk tembakau), yang harus dikendalikan konsumsinya, diawasi distribusinya, dan penggunaannya memberi dampak negatif bagi masyarakat serta lingkungan hidup. Pajak rokok sebagian dipergunakan untuk pelayanan kesehatan masyarakat. Akan tetapi, dengan adanya PMK RI Nomor 53 Tahun 2017, dana pajak rokok untuk UKM dialihlokasikan 75% untuk pendanaan program jaminan kesehatan nasional yakni BPJS yang merupakan salah satu UKP. Akibatnya adalah dana UKM yang selama ini tergolong masih kecil kini bertambah kecil dengan adanya sedot paksa dana UKM dalam rangka menutup defisit BPJS. Hal ini memudarkan pajak rokok dari gelar “pajak dosa”-nya.
Paradigma yang keliru juga dikhawatirkan timbul dari kebijakan pengalihlokasian pajak rokok, yakni bahwa merokok merupakan hal positif karena dapat membantu negara dalam menutup defisit BPJS. Paradigma tersebut sangat mudah terbentuk mengingat defisit BPJS merupakan salah satu isu populer di Indonesia akhir-akhir ini. Kemudian dampaknya adalah semakin banyaknya perokok dan orang sakit akibat rokok, lalu mereka berobat menggunakan BPJS dan menguras banyak dana. Begitulah lingkaran setan yang tak pernah berujung kecuali jika diputus dengan upaya kesehatan masyarakat.
Selain itu, ada beban moral, terkait keetisan, yang perlu pemerintah pertimbangkan terkait keputusan baru ini. Dana pajak rokok yang digunakan untuk menutup defisit BPJS kebanyakan berasal dari kantong rakyat miskin. Jumlah perokok di Indonesia didominasi oleh rakyat miskin. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2017, rokok menempati posisi kedua setelah beras dalam pembelanjaan rumah tangga termiskin. Belanja rokok keluarga miskin mengalahkan belanja makanan bergizi seperti daging dan telur. Konsumsi penduduk miskin terhadap rokok rata-rata 12 batang per hari. Apakah etis jika dana defisit BPJS ditutup oleh uang rakyat miskin yang terjerat lingkaran setan kemiskinan dan kesakitan akibat rokok?
Solusi
Masalah defisit BPJS sudah jelas penyebabnya, yakni tidak imbangnya antara klaim dan premi. Premi yang diterapkan saat ini masih lebih rendah dari standar yang seharusnya. Belum lagi, peserta yang tidak membayar iuran premi secara teratur dan potensi-potensi fraud/ kecurangan yang terjadi pada penyedia layanan kesehatan. Solusinya adalah penetapan harga premi sesuai dengan standar perhitungan yang seharusnya dan sosialisasi lintas sektoral. Kemudian, tentu perlu untuk lebih tegas dalam penerapan hukum terkait. Selain itu, meningkatkan upaya kesehatan masyarakat dapat menjadi solusi defisit BPJS meski perlu waktu yang tidak instan. Dengan UKM, faktor risiko penyakit, terutama penyakit katastropik yang menyedot banyak dana BPJS, dapat diminimalisasi. Bisa juga dilakukan intervensi terkait pendanaan dengan menaikkan cukai rokok supaya harga rokok naik dan menekan jumlah konsumsi. Jika jumlah konsumsi rokok menurun maka faktor risiko kesakitan karena rokok juga menurun.
Semoga ke depannya, UKM bisa lebih diperhatikan seluruh komponen bangsa, tanpa melupakan UKP tentunya, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Dengan tercapainya derajat kesehatan setinggi-tingginya, maka kelak yang namanya defisit BPJS hanyalah angan-angan semata.