Penggunaan tembakau merupakan penyebab utama dari kematian yang dapat dicegah. Berdasarkan data WHO tahun 2014, hampir 6 juta kematian per tahun disebabkan oleh tembakau. Salah satu bentuk utama penggunaan tembakau di Indonesia adalah konsumsi rokok. Secara global, terjadi peningkatan konsumsi rokok terutama di negara berkembang. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan RI, diperkirakan pada tahun 2018 jumlah perokok di seluruh dunia mencapai 1,3 milyar orang dengan prevalensi perokok di Indonesia pada tahun 2018 adalah sebesar 28,8%.
Tingginya prevalensi perokok menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan konsumsi rokok terbesar di dunia, yaitu pada urutan ketiga setelah China dan India. Berdasarkan data dari Tobacco Atlas tahun 2012, jumlah batang rokok yang dikonsumsi di Indonesia cenderung meningkat dari 182 milyar batang pada tahun 2001 menjadi 260,8 milyar batang pada tahun 2009.
Terjadinya pandemi COVID-19 pada awal tahun 2020 tidak menyebabkan konsumsi rokok di masyarakat menjadi berkurang. Menurut hasil survei yang dilakukan oleh Komnas Pengendalian Tembakau mengenai perilaku merokok selama masa pandemi COVID-19, terdapat kecenderungan perilaku merokok pada masyarakat bersifat tetap meski berada di rumah bahkan pada beberapa responden terjadi peningkatan konsumsi rokok. Sebanyak 49,8% responden yang merokok mengaku memiliki pengeluaran tetap untuk membeli rokok selama masa pandemi, bahkan meningkat pada sebesar 13,1% responden. Sementara dari jumlah batang rokok yang dikonsumsi, mayoritas responden yang merokok sebanyak 50,2% mengaku tetap dan sebanyak 15,2% responden mengalami peningkatan pada jumlah rokok yang dikonsumsi.
Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumsi rokok, di antaranya adalah kebijakan dan kondisi stres yang terjadi pada perokok. Adanya kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah menjadi salah satu faktor eksternal yang berpengaruh terhadap konsumsi rokok di masyarakat. Berdasarkan penelitian dari Peneliti Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat, penerapan peraturan dan perundangan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) atau Kawasan Dilarang Merokok (KDM) dapat menurunkan proporsi perokok yang mengkonsumsi rokok setiap hari. Menurut Kementerian Kesehatan RI, Kawasan Tanpa Rokok (KTR) merupakan ruang atau area yang dilarang untuk merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan produk tembakau. Terdapat 7 area yang menjadi Kawasan Tanpa Rokok (KTR), yaitu fasilitas pelayanan kesehatan, tampat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, tempat proses belajar mengajar, serta tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan.
Selain faktor eksternal, kondisi stres dapat menjadi faktor internal yang mempengaruhi perilaku konsumsi rokok. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, terdapat hubungan antara stres dengan kebiasaan merokok. Stres yang terjadi jangka waktu yang panjang akan memicu seseorang untuk merokok. Seseorang yang berada dalam kondisi stres mempunyai kemungkinan lebih besar untuk merokok. Hal ini karena merokok dapat membuat mereka lebih tenang dan rileks. Sehingga konsumsi rokok pada saat stres adalah upaya untuk mengatasi masalah yang bersifat emosional atau kecemasan serta memberikan kepuasan psikologis.
Pada masa pandemi COVID-19 saat ini, sejak pemerintah menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan aturan “di rumah saja” masyarakat tetap berdiam di rumah. Aturan tersebut mengakibatkan banyaknya pekerja yang semula bekerja di kantor atau tempat-tempat publik kini melakukan aktivitas pekerjaan secara WFH (Work from Home). Hal yang sama juga terjadi pada pelajar, pelajar yang awalnya melakukan kegiatan belajar mengajar di sekolah atau kampus sekarang melakukan kegiatan belajar mengajar secara daring atau disebut Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Dengan beralihnya kegiatan yang dilakukan pada tempat publik seperti kantor dan sekolah mejadi di rumah saja maka hal ini dapat menyebabkan semakin besarnya peluang bagi para perokok untuk merokok sebab rumah tidak termasuk wilayah Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan tidak terdapat aturan atau larangan bagi para perokok untuk merokok di rumah.
Selain itu, pada masa pandemi COVID-19 sangat rentan bagi masyarakat untuk mengalami stres, cemas, depresi dan frustasi. Banyak masyarakat yang takut dan cemas terhadap kemungkinan penularan akibat semakin meningkatnya pertambahan kasus baru harian COVID-19. Di samping itu, dengan karakteristik pasien COVID-19 yang asimtomatik atau tidak memiliki gejala semakin banyak saat ini. Hal tersebut membuat masyarakat semakin bingung untuk membedakan antara seseorang yang menderita COVID-19 dan tidak. Ditambah lagi dengan depresi dan frustasi akibat masalah pekerjaan, keuangan akibat penurunan pendapatan dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), kurangnya interaksi sosial, Work from Home (WFH) dan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), banyak kebiasaan baru yang berbeda dari kehidupan normal sebelumnya serta ketidakpastian kapan COVID-19 akan berakhir. Kondisi stres tersebut dapat mendorong para perokok untuk mengkonsumsi rokok sebagai upaya penanganan yang dapat membuatnya lebih rileks. Seperti dikutip dari Jibal Windia, “Tak dipungkiri, bagi perokok seperti saya dalam kondisi ini akan lebih banyak menghabiskan rokok di rumah. Bukan apa-apa, selain banyak waktu luang, karena tidak ada interaksi sosial, pilihan sederhana untuk tetap bisa rileks ya hanya merokok.”
Oleh karena itu, hal-hal tersebut perlu menjadi perhatian bagi pemerintah dan banyak pihak dalam pembuatan aturan untuk menekan konsumsi rokok di masyarakat terutama di masa pandemi COVID-19 saat ini. Sebab, merokok menjadi salah satu faktor risiko Penyakit Tidak Menular (PTM) yang merupakan komorbid COVID-19 seperti diabetes, hipertensi, penyakit jantung, dan kanker sehingga dapat meningkatkan infeksi dan memperparah komorbid COVID-19.
Sangat informatif! Terima kasih!