MENGHADAPI TANTANGAN PENULARAN TUBERKULOSIS DENGAN SKRINING

Deteksi dini dengan cara skrining tuberkulosis (TB) dapat membantu penemuan kasus baru, pengobatan yang tepat dan pencegahan penularan TB pada masyarakat. Kasus Tuberkulosis (TB) di Indonesia menempati angka tertinggi sepanjang sejarah pada tahun 2022 dan 2023. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, lebih dari 724.000 kasus TB baru ditemukan pada tahun 2022. Sebelum masa pandemi COVID-19, penemuan kasus TB hanya mencapai 40 – 45% dari estimasi kasus TB, namun, hal ini menjadi efek gunung es yang harus diwaspadai karena artinya masih banyak kasus TB yang belum ditemukan dan dilaporkan. Semakin banyak kasus yang terdeteksi dan dilaporkan, maka pengidap TB akan mendapatkan pengobatan lebih cepat sehingga penularan dapat ditekan.

Jangan remehkan gejala tuberkulosis
Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya bakteri TB (BTA) pada pemeriksaan dahak. Seseorang dengan gejala klinis tuberkulosis merupakan sasaran utama dilakukan pemeriksaan dahak dan skrining untuk memeriksa ada tidaknya bakteri TB (BTA) dalam dahak. Tuberkulosis Paru merupakan penyakit menular yang ditularkan melalui droplet saat penderita batuk bersin atau melalui percikan cairan tubuh penderita. Tuberkulosis ekstra paru tidak menular melalui dahak.

Gejala klinis TB Paru lebih mudah diidentifikasi karena memiliki tanda khas yang bisa diamati langsung, diantaranya:

  1. Rasa tidak nyaman pada tubuh (malaise).
  2. Tubuh terasa lamah.
  3. Batuk berdahak selama 2 – 3 minggu atau lebih.
  4. Berat badan turun.
  5. Nafsu makan turun.
  6. Rasa nyeri di dada.
  7. Sesak nafas.
  8. Berkeringat di malam hari tanpa kegiatan.
  9. Demam lebih dari 1 bulan.
  10. Dahak bercampur darah.
  11. Batuk berdarah.

Gejala klinis TB ekstra Paru memiliki gejala sesuai dengan organ yang terkena bakteri TB, seperti:

  1. Pembesaran pada getah bening hingga mengeluarkan nanah.
  2. Nyeri dan pembengkakan sendi.
  3. Sakit kepal, demam, kaku leher dan gangguan kesadaran jika selaput otak terkena bakter TB.

Namun, seseorang yang menderita TB ekstra Paru dapat terserang TB Paru sehingga perlu dilakukan evaluasi dan pemeriksaan TB Paru.

Skrining TB dan Layanan Tuberkulosis
Tes skrining tidak dimaksudkan untuk mendiagnosa suatu penyakit, tetapi skrining dilakukan untuk menjaring sejumlah orang dalam suatu masyarakat (populasi) yang tampak sehat yaitu orang yang mungkin sakit akan tetapi masih belum menampakkan gejala dan untuk selanjutnya dilakukan diagnosa yang lebih teliti untuk dilakukan pengobatan atau tindakan lain. Skrining Tuberkulosis (TB) dapat dilakukan melalui program skrining TB di rumah sakit, puskesmas maupun kegiatan rutin program pencegahan TB di fasilitas umum (pendidikan, perkantoran, asrama, tempat berisiko lainnya). Skrining TB untuk mnemukan kasus baru mecakup poin berupa:

  1. Skrining Gejala Klinis TB
    Terduga TB dengan gejala klinis tuberkulosis akan dilakukan skrining untuk menggali gejala klinik secara mendalam dan mencari kontak erat sebelum dan sesudah gejala muncul.
  2. Skrining Kontak Erat
    Terduga TB dengan gejala maupun tanpa gejala setelah kontak dengan seseorang yang terdiagnosa TB untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dan dilakukan pencegahan penularan.
  3. Pemeriksaan Dahak
    Terduga TB dengan gejala perlu melakukan pemeriksaan dahak untuk melihat ada tidaknya bakteri TB dalam dahak. Jika seseorang dengan gejala TB memiliki hasil BTA negatif, maka perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan. Pemeriksaan Dahak bisa dilakukan di fasilitas kesehatan dengan menghubungi kader kesehatan atau Puskesmas terdekat.
  4. Skrining Radiologis
    Identifikasi terduga TB dapat diperoleh melalui foto toraks. Skrining radiologis dapat dilakukan pada proses penegakan diagnosis TB, pemeriksaan kesehatan rutin umum dan pemeriksaan kesehatan khusus. Seseorang yang teridentifikasi sebagai terduga TB perlu dilakukan evaluasi setelah pemeriksaan dan proses skrining selesai dilakukan.

Kegiatan penemuan aktif yang dilaksanakan untuk meningkatkan penemuan pasien TB di wilayah dengan penemuan kasus sangat rendah dan atau belum terjangkau oleh Puskesmas. Dalam pelaksanaannya Puskesmas bekerja sama dengan aparat desa/kelurahan, kader kesehatan dan potensi masyarakat melakukan skrining gejala TB secara masif di masyarakat.

Kelompok Risiko Tuberkulosis (TB)
Lingkungan dengan kepadatan tinggi, kebersihan yang kurang menjadi wilayah dengan risiko penularan tinggi dan cepat terutama untuk TB Paru. Selain itu penderita penyakit degeneratif dan penyakit kronis dapat lebih mudah tertular TB jika kontak langsung dengan penderita.

  1. Daerah Padat dan Daerah Kumuh
    Daerah padat dan kumuh bisa ditemukan di wilayah padat penduduk seperti, penduduk di bantaran Sungai, wilayah pinggiran kota besar, lapas/rutan, asrama pendidikan/pondok pesantren, kos-kosan, rumah susun, dll.
  2. Daerah dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Buruk
    Lingkungan dengan sanitasi buruk maupun penerapan PHBS yang kurang dapat menjadi ladang penyebaran bakteri TB. Lingkungan dengan perokok aktif tinggi, penerapan cuci tangan dengan sabun yang kurang, membuang dahak sembarangan dan asupan nutrisi yang kurang turut menjadi faktor penularan TB menjadi lebih mudah.
  3. Seseorang dengan Penyakit Kronis
    Seseorang dengan penyakit kronis memiliki kekebalan tubuh yang lebih buruk dari sesroang yang sehat. Sehingga para penderita penyakit kronis seperti Diabetes Mellitus, HIV/AIDs, anak-anak dengan penyakit kronis sering mendapatkan anjuran pemeriksaan TB untuk mendeteksi penularan TB.

Pengobatan Tuberkulosis
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) merupakan obat yang diberikan kepada seseorang yang terdiagnosa TB untuk menunjang upaya penyembuhan dan mencegah penularan. Prinsip pengobatan dengan OAT adalah 3T yaitu Tepat Dosis, Tepat Cara dan Tepat Waktu. OAT yang diberikan mengandung 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi.

Tahapan pengobatan TB:

  1. Tahap Awal
    Pengobatan diberikan setiap hari dengan tujuan menurunkan jumlah kuman dalam tubuh dan meminimalisir resistensi kuman sejak sebelum mendapatkan OAT. Pengobatan tahap awal pada kasus baru diberikan selama 2 bulan. Dengan pengobatan teratur tanpa penyulit, daya penularan akan menurun setelah pengobatan selama 2 minggu pertama.
  2. Tahap Lanjutan
    Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa kuman yang masih ada dalam tubuh dan mencegah terjadinya kekambuhan. Durasi pemberian obat yaitu selama 4 bulan dan diberikan setiap hari.

Pengobatan TB pada seseorang terdiagnosa TB perlu dilakukan pengawasan baik dari petugas pelayanan kesehatan atau dari orang terdekat (keluarga). Pengawas Menelan Obat (PMO) bertugas memastikan penderita TB meminum obat sesuai dosis dan waktu untuk mencegah kekambuhan.

Pencegahan Tuberkulosis
Pencegahan dan pengendalian risiko memiliki tujuan mengurangi resiko penularan TB di masyarakat. Upaya yang dapat dilakukan yaitu:

  1. Membiasakan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), makan makanan bergizi dan tidak merokok.
  2. Membiasakan menerapkan etika batuk dan cara membuang dahak kepada pasien TB maupun masyarakat umum.
  3. Makan makanan bergizi untuk meningkatkan daya tahan tubuh.
  4. Pencegahan bagi populasi rentan melalui vaksinasi dan pengobatan pencegahan.
  5. Memasifkan penemuan kasus TB baru di masyarakat melalui program inovasi TB.
  6. Bekerjasama dengan kader kesehatan memantau penderita TB untuk melakukan pengobatan rutin dan memberi dukungan moral.
  7. Memfasilitasi pemeriksaan TB di fasilitas kesehatan terdekat.

Peduli dengan keadaan sekitar akan membantu diri sendiri, keluarga dan lingkungan sekitar terjaga dari penyakit menular. Tuberkulosis perlu mendapatkan perhatian khusus karena berkaitan erat dengan kebiasaan kecil PHBS yang berdampak besar pada penularan TB. Mari terapkan hidup sehat, segera periksakan diri anda dan orang terdekat jika mengalami gejala, serta berpartisipasi aktif dalam Posyandu untuk membantu mewujudkan Indonesia sehat bebas TB.

Sumber:
Hidayat, Rahmat., dkk. (2017). SKRINING DAN STUDI EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TUBERKULOSIS PARU DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS II A KENDARI TAHUN 2017. https://media.neliti.com/media/publications/183040-ID-skrining-dan-studi-epidemiologi-penyakit.pdf diakses pada 3 November 2024
Kementerian Kesehatan RI. (2019). Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis. https://yankes.kemkes.go.id/unduhan/fileunduhan_1610422577_801904.pdf diakses pada 3 November 2024
Modul Pelatihan Penanggulangan Tuberkulosis (TBC) Bagi Petugas Kesehatan di Fasyankes tingkat Pertama (FKTP). https://siakpel.kemkes.go.id/upload/akreditasi_kurikulum/modul-1-34323434-3537-4431-b839-333834393731.pdf diakses pada 3 November 2024
Tarmizi, Siti Nadia. (2024). Kasus Tinggi TBC Karena Perbaikan Sistem Deteksi dan Pelaporan. https://kemkes.go.id/id/rilis-kesehatan/kasus-tbc-tinggi-karena-perbaikan-sistem-deteksi-dan-pelaporan diakses pada 3 November 2024
Tarmizi, Siti Nadia. (2024). 7 Pendekatan Kemenkes Deteksi Dini dan Perluas Layanan Tuberkulosis. https://kemkes.go.id/id/rilis-kesehatan/7-pendekatan-kemenkes-deteksi-dini-dan-perluas-layanan-tuberkulosis diakses pada 3 November 2024

Artikel ini telah di review oleh:
Hendra Koswara, S.KM.
Tenaga Promkes Puskesmas Taraju

Puskesmas Taraju
Jalan Raya Taraju No. 149, Desa Taraju, Kec. Taraju, Kab. Tasikmalaya, Prov. Jawa Barat
Kode Pos.46474
No. Telp. 08164667273/02657080205

Yuk Share Postingan Ini:
yustifitya
yustifitya
Articles: 16

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *