3M Masih Relevan? Mencari Solusi Optimal Cegah Malaria di Musim Hujan

Musim penghujan di Indonesia yang diprediksi oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) akan berlangsung dari bulan Oktober hingga Desember 2024. Datangnya musim hujan pastinya merupakan momen syahdu bagi pengagumnya. Tak dapat dipungkiri, hujan yang kita kagumi ternyata menyimpan berbagai macam penyakit yang berpotensi muncul dan menyebarkan virusnya melalui air hujan. Peribahasa, “Ada udang dibalik batu,” sangat cocok menggambarkan kondisi seperti ini.

Kemungkinan timbulnya penyakit dari faktor lingkungan bukanlah hal yang tidak mungkin terjadi. Salah satu contoh penyakit yang timbul akibat faktor lingkungan adalah malaria. Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan, bahwa jumlah kasus malaria di Indonesia meningkat dari 254.055 pada tahun 2020 menjadi 443.530 pada tahun 2022. Kondisi rumah yang tidak mendukung, genangan air di sekitar rumah, ruang yang gelap dan dipenuhi banyak barang, akan berpengaruh pada perkembangbiakan nyamuk Anopheles Sp, penyebab penyakit malaria. Malaria merupakan penyakit yang disebabkan oleh parasit Plasmodium malariae, Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, dan Plasmodium ovale, yang ditransmisikan dari satu individu ke individu lainnya melalui gigitan nyamuk Anopheles.

Siklus hidup nyamuk Anopheles Sp, seperti nyamuk pada umumnya, mengalami metamorfosis sempurna yang bermula dari tahap telur, kemudian larva, pupa, terakhir dewasa. Tahap metamorfosis ini berlangsung 2 – 5 minggu yang bervariasi tergantung jenis spesies nyamuk, keadaan alam atau faktor luar seperti makanan, suhu, dan lokasi peletakan telur. Namun, ada beberapa perbedaan signifikan dalam siklus hidup dan habitatnya dibandingkan dengan Aedes aegypti:

  1. Telur: Telur nyamuk Anopheles sp memiliki panjang 0,44 mm dengan pengapung di kedua sisi sepanjang 0,8 mm yang melekat, berwarna hitam, dan menyukai air tenang. Bentuk telur nyamuk Aedes aegypti adalah elip memanjang, berwarna hitam putih dengan ukuran 0,5 – 0,8 mm, dan terletak secara terpisah berjarak pada benda-benda yang terapung.
  2. Larva: Larva Anopheles tidak memiliki siphon (alat bantu pernapasan) sehingga menggunakan tabung pernapasan yang terletak di ujung abdomen  maka saat beristirahat letaknya akan sejajar dengan permukaan air, berbeda dengan larva Aedes aegypti cenderung terlihat menggantung secara vertikal.
  3. Pupa: Pupa Anopheles juga hidup di permukaan air yang memiliki bentuk yang khas seperti koma, karena berada di akuatik dan tidak memerlukan makanan dalam fase pupa. Sedangkan, nyamuk Aedes aegypti berbentuk bengkok dengan bagian kepala hingga dada (cephalothorax) memiliki ukuran yang lebih besar jika dibandingkan dengan bagian perutnya.
  4. Dewasa: Nyamuk Anopheles dewasa memiliki tubuh yang lebih ramping dibandingkan Aedes aegypti dan biasanya berwarna cokelat gelap atau hitam dengan bintik-bintik putih. Nyamuk Anopheles lebih aktif menggigit pada malam hari, terutama di sekitar waktu matahari terbenam dan terbit, sedangkan nyamuk Aedes aegypti lebih aktif menggigit pada siang hari.

Dalam upaya mengendalikan penyebaran dan perkembangbiakan nyamuk, salah satu strategi yang seringkali menjadi bahasan yaitu dengan menerapkan pendekatan 3M (Menguras, Menutup, dan Mengubur). Tak asing rasanya mendengar strategi ini sebagai upaya pencegahan perkembangbiakan nyamuk. Akan tetapi, mungkinkah strategi ini terus dijalankan? Apakah efektif untuk menekan penyebaran dan perkembangbiakan nyamuk?

Data yang diperoleh dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2022), strategi 3M yang telah lama digaungkan memang terbukti efektif dalam mengurangi populasi nyamuk Aedes aegypti, penyebab demam berdarah dengue. Namun, apakah strategi ini juga seefektif itu dalam memberantas nyamuk Anopheles Sp, penyebab malaria? Nyamuk Anopheles memiliki perilaku yang berbeda dengan Aedes aegypti, terutama dalam hal perkembangbiakan (feeding place), kebiasaan menggigit (feeding activity), tempat mencari makan (feeding place), dan tempat istirahat (resting place). Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi mendalam mengenai relevansi penerapan 3M dalam konteks pencegahan malaria.

Perkembangan lingkungan dan perilaku manusia juga turut mempengaruhi keberhasilan program pemberantasan nyamuk. Urbanisasi yang pesat, perubahan pola penggunaan lahan, serta resistensi nyamuk terhadap insektisida menjadi tantangan baru dalam pengendalian malaria. Selain itu, faktor sosial ekonomi juga berperan penting. Masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah dan akses terbatas terhadap layanan kesehatan cenderung lebih rentan terhadap risiko malaria.

Untuk mengatasi kompleksitas masalah malaria, diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif. Selain melanjutkan upaya pemberantasan sarang nyamuk, perlu dilakukan intervensi pada berbagai tingkatan, mulai dari individu, masyarakat, hingga pemerintah. Peningkatan kesadaran masyarakat tentang pencegahan malaria, penyediaan fasilitas kesehatan yang memadai, serta pengembangan riset untuk menemukan metode pengendalian nyamuk yang lebih inovatif merupakan langkah-langkah yang perlu diambil.

Referensi:

  1. Kementerian Kesehatan RI. (2022). Laporan Tahunan Kasus Malaria di Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
  2. Kementerian Kesehatan RI (2023). Bionomik Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit. Jakarta: Direktorat Peningkatan Mutu Tenaga Kesehatan. 9-17.
  3. Supriatna, A. (2018). Efikasi Strategi 3M dalam Pencegahan Malaria di Daerah Endemis. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 6(2), 123-130.
  4. World Health Organization. (2021). World Malaria Report 2021. Geneva: World Health Organization.

Artikel ini telah direview oleh:

Serli Nur Alindra AM. Keb, S.K.M.

Petugas Promosi Kesehatan

UPTD Puskesmas Mangunreja

Jalan Sukaraja No. 53. Telp. (0265) 544709

Yuk Share Postingan Ini:
adhytiyapertiwi
adhytiyapertiwi
Articles: 16

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *