Menilik Keamanan dan Distribusi Makanan dalam Program MBG: Membangun Fondasi Generasi Emas 2045

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas oleh Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menjadi salah satu program prioritas nasional dalam pembangunan sumber daya manusia. Diluncurkan pada awal tahun 2025, MBG menyasar pada anak usia sekolah, santri, balita, ibu hamil, dan menyusui. Program ini tidak hanya bertujuan mengoptimalkan kebutuhan asupan gizi dan meningkatkan kualitas pendidikan, tetapi juga mengurangi ketimpangan sosial dalam akses terhadap makanan bergizi. Dalam pelaksanaan program MBG, porsi makanan yang disediakan melalui program ini telah disusun dengan mengacu pada Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan. Setiap menu disesuaikan dengan kelompok usia, jenis kelamin, dan kondisi fisiologis penerima, seperti anak usia sekolah, balita, ibu hamil, dan ibu menyusui, guna menjamin terpenuhinya kebutuhan gizi. Program ini tentu menyimpan potensi besar sebagai penggerak ekonomi lokal. Apabila dikelola dengan baik dan optimal, MBG dapat menjadi peluang keterlibatan aktif bagi pelaku usaha mikro, petani lokal, dan koperasi. Hal ini didukung oleh studi yang dilakukan Basit dan Ramadani tahun 2025 yang menunjukkan bahwa keterlibatan sektor UMKM, petani, dan koperasi dalam rantai pasok makanan pelaksanaan program mampu memperkuat ketahanan pangan nasional sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat lokal setempat.

Insiden Keracunan Massal Picu Kekhawatiran Publik

Di tengah harapan besar terhadap keberhasilan program ini, muncul sejumlah peristiwa yang justru menimbulkan kekhawatiran publik, khususnya terkait aspek keamanan pangan. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diinisiasi untuk meningkatkan asupan gizi siswa, justru menimbulkan kekhawatiran setelah ratusan siswa di beberapa daerah mengalami keracunan massal. Dikutip dari laman Kompas (24/05/2025), sejumlah 173 siswa di Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir, Sumatera Selatan mengalami keracunan akibat tempe goreng dan air pengolahan makanan yang telah terkontaminasi bakteri. Kejadian serupa juga terjadi di Kota Bogor, Jawa Barat dimana sebanyak 210 siswa dari TK hingga SMP mengalami gejala keracunan setelah mengkonsumsi MBG. Selain itu, dikutip dari laman Tirto (05/2025), sebanyak 23 siswa SMP PGRI 1 dan 55 siswa MAN 1 di Cianjur, Jawa Barat, mengalami gejala mual, muntah, dan pusing usai mengkonsumsi makanan MBG yang diduga terkontaminasi. Diketahui, menu ayam suwir yang dibagikan saat itu memiliki aroma tak sedap dan diduga telah terkontaminasi akibat proses penyimpanan atau pengolahan yang tidak sesuai standar. Hal ini didukung oleh salah satu penelitian yang dilakukan oleh Pancani dan Ningsih (2025) bahwa terkadang kualitas makanan yang didistribusikan tidak memenuhi standar gizi yang diharapkan. Peristiwa ini tidak hanya menimbulkan dampak kesehatan bagi para siswa yang menjadi korban, tetapi juga menggoyahkan kepercayaan masyarakat terhadap kualitas pengawasan dan pengelolaan program yang seharusnya menjadi jaminan gizi dan keselamatan bagi anak-anak Indonesia.

Tantangan Implementasi Program dan Permasalahan Teknis di Lapangan

Keberhasilan program ini sangat ditentukan oleh satu aspek mendasar, yaitu keamanan pangan. Makanan yang didistribusikan di sekolah bukan hanya harus bergizi, tetapi juga wajib aman dikonsumsi guna menjamin kesehatan siswa serta membangun kepercayaan publik terhadap program ini. Akses rutin terhadap makanan yang layak dan aman mampu menurunkan tingkat kecemasan siswa serta meningkatkan performa akademik mereka. Temuan ini diperkuat oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Pancani dan Ningsih (2025) serta Qomarrullah dan rekan-rekannya (2025) yang menjelaskan bahwa penyediaan makanan bergizi secara konsisten dapat berkontribusi terhadap penurunan kecemasan dan peningkatan prestasi belajar siswa. 

Di tengah upaya pemerataan akses, kondisi geografis Indonesia yang beragam memunculkan tantangan tersendiri di sejumlah wilayah. Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Putikadyanto dan rekannya tahun 2025 bahwa wilayah terpencil menghadapi hambatan lebih besar seperti infrastruktur dan pendistribusian makanan. Sejalan dengan studi lain yang dilakukan oleh Pancani dan Ningsih tahun 2025, Arifin, Rifa’i dan Pratama tahun 2025 serta Fatimah dan rekannya tahun 2024 yang mengungkapkan bahwa keterbatasan infrastruktur, serta masalah logistik dan pendistribusian makanan merupakan kelemahan dalam implementasi program MBG di lapangan. Selain itu, terdapat tantangan lain yaitu kurangnya edukasi di masyarakat, baik kepada siswa di sekolah maupun orang tua di rumah. Ketidaktahuan mengenai pentingnya konsumsi makanan seimbang dapat mengurangi efektivitas program, karena perilaku konsumsi yang sehat tidak hanya bergantung pada ketersediaan makanan bergizi, tetapi juga pada pemahaman dan kesadaran gizi yang baik dari para penerima manfaat. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Arifin, Rifa’i dan Pratama tahun 2025 dimana kurangnya edukasi gizi di kalangan siswa dan orang tua merupakan salah satu tantangan implementasi dari program MBG.

Untuk memastikan keberlanjutan dan efektivitas program MBG, maka penguatan keamanan pangan perlu menjadi pilar utama. Berikut merupakan sejumlah rekomendasi strategis untuk meningkatkan efektifitas program MBG:

  1. Standarisasi menu nasional yang berbasis kebutuhan gizi harus ditetapkan oleh pemerintah pusat, tetapi tetap fleksibel dengan bahan pangan lokal.
  2. Perlu disusun pedoman teknis khusus terkait standar keamanan dan pengawasan pangan dalam Program MBG, agar pelaksanaan di lapangan berjalan sesuai prinsip higienitas dan mutu gizi. 
  3. Pemerintah perlu memprioritaskan penyaluran MBG ke wilayah 3T dengan melakukan pemetaan kebutuhan berbasis data, memperkuat logistik distribusi, serta membangun kemitraan dengan pemerintah daerah dan komunitas lokal agar bantuan gizi dapat tersalurkan secara adil, merata, dan berkelanjutan.
  4. Penguatan rantai pasok lokal harus dilakukan melalui pelibatan UMKM, petani, dan koperasi yang didampingi secara teknis agar mampu memenuhi standar keamanan pangan serta meningkatkan ekonomi lokal dan kesinambungan pasokan gizi.

Keamanan dan distribusi pangan bukan sekadar urusan teknis, tetapi kunci utama untuk menjamin kualitas hidup peserta didik dan keberhasilan kebijakan sosial berskala nasional seperti MBG. Untuk mewujudkan hasil yang maksimal, perlu dilakukan optimalisasi pada berbagai aspek seperti keamanan pangan, pemilihan menu, distribusi yang tepat sasaran, dan penguatan tata kelola. Jika aspek ini dikelola dengan baik, MBG akan menjadi pondasi kokoh untuk mewujudkan Generasi Emas 2045—sebuah generasi yang tidak hanya sehat dan cerdas, tetapi juga lahir dari sistem yang adil dan terjamin.

Tim-2 Advokasi Kesehatan Mahasiswa Promosi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Pembina: M. Farid Hamzens. Ketua: Adhytiya Puji Pertiwi. Anggota: Dewi Azizah, Ersa Julia Mutiara Putri, Marisa

Yuk Share Postingan Ini:
adhytiyapertiwi
adhytiyapertiwi
Articles: 19

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *